Wabah penyelundupan berjangkit lagi. Kata siapa? Kecuali Direktur Jenderal Bea Cukai Permana Agung Drajattun—baru dilengserkan dari jabatannya pada 31 Agustus 2002—semua orang penting di pemerintahan mengakui hal itu. Mulai dari Menteri Koordinator Perekonomian terdahulu, Rizal Ramli, sampai Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang kini menjabat, Rini Soewandi. Keduanya berniat membentuk tim anti-penyelundupan karena baik Rizal maupun Rini sudah tak bisa berkelit menghadapi protes para pengusaha. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny Sutrisno, bahkan sudah tak kuat menahan amarahnya. "Apa saja diselundupkan," ujarnya, "mulai dari mobil, barang elektronik, beras, gula, sampai pakaian bekas."
Gagasan "menonaktifkan" Direktorat Jenderal Bea Cukai—yang gagal membendung penyelundupan—sudah dikumandangkan tahun lalu oleh pendahulu Rini, Luhut Panjaitan. Tapi waktu itu ide Luhut ditolak. Menteri Keuangan Boediono juga tidak segera mengiyakan usul perubahan sistem yang diajukan Rini Soewandi. Bekas bos Astra ini memang mendesak agar sistem post audit—disebut juga on arrival inspection (OAI)—yang diterapkan Bea Cukai diganti dengan sistem pra-pengapalan alias pre-shipment inspection (PSI). Dengan sistem ini, barang impor diperiksa di pelabuhan asal, jadi bukan di wilayah Indonesia. Bila disetujui, sebagian tugas pemeriksaan barang akan beralih ke pihak lain—SGS, misalnya. Untuk itu diperlukan dana besar. Namun, para pengusaha—yang dirugikan oleh penyelundupan—siap memikul biaya SGS yang bisa mencapai US$ 500 juta per tahun.
Memanfaatkan pihak luar untuk menangani lalu-lintas barang bukanlah hal baru bagi Indonesia. Selama 12 tahun (1985-1997) pemerintahan Soeharto mengontrak SGS (Societe Generale de Surveillance) untuk tugas-tugas yang seharusnya dilakukan Bea Cukai. Honor SGS waktu itu mencapai Rp 450 miliar per tahun—15 kali lipat dari anggaran Bea Cukai. Namun, Soeharto memilih SGS karena ia tidak ingin impiannya membangun industri berantakan ditorpedo oleh aparat Bea Cukai yang korup itu. Dan agaknya tak ada yang lebih paham dari Soeharto tentang korelasi antara kemajuan industri dan kejujuran aparat Bea Cukai. Pendeknya, Soeharto memilih SGS dengan sistem PSI, sistem yang juga diandalkan Rini Soewandi.
Tapi, Rini harus bersabar karena Menteri Boediono ingin lebih dulu memperbaiki sistem dan kinerja kepabeanan. Ia menggariskan empat strategi, dua di antaranya berupa meminimalkan kontak antara petugas dan pengguna jasa pabean dan perang terhadap penyelundupan. Andaikata sistem Boediono berhasil, berarti Bea Cukai tak akan kehilangan "kerajaannya"; dan mungkin juga institusi ini masih akan menerapkan sistem OAI dengan jalur merah dan jalur hijaunya. Dua jalur warisan Permana Agung itu memang efektif memperlancar arus barang, tapi tidak efektif memberantas penyelundupan. Diduga, barang selundupan diluncurkan melalui jalur hijau, padahal semestinya lewat jalur merah. Banyak bukti menunjukkan bagaimana sistem OAI menghalalkan penyelundupan lewat manipulasi dokumen impor. Sistem itu jelas riskan karena negara kehilangan triliunan rupiah, industri terancam bangkrut, rakyat dirugikan, dan birokrasi yang dipimpinnya cenderung menjadi sangat korup.
Masalahnya, berapa lama sistem Boediono, dengan empat strategi itu, akan diberi waktu untuk membuktikan efektivitasnya. Sebaiknya jangan terlalu lama—enam bulan cukuplah. Jika gagal, jangan ragu mengontrak SGS, dengan catatan agen ini cukup dipakai dua tahun saja. Selama itu pula SGS wajib menggembleng aparat Bea Cukai. Memang tidak ada jaminan bahwa hasilnya akan langsung cespleng. Tapi, demi menangkal penyelundupan, kenapa tidak? Penyelundupan adalah kejahatan yang menggerogoti ketahanan ekonomi bangsa, kejahatan yang bahkan oleh Soeharto hanya bisa dilawan dengan biaya sangat besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini