Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mencari Gubernur Pilihan Rakyat

Pemimpin tak lahir dari langit. Mereka yang ingin mempunyai gubernur jempolan harus melakukan upaya nyata.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bila tak ada aral melintang, pencalonan kembali Sutiyoso sebagai gubernur periode mendatang akan berjalan mulus pekan ini. Dengan dukungan Fraksi PDIP dan Partai Golkar di DPRD, di atas kertas suara mayoritas sudah dikantongi. Hanya, seperti dalam pertandingan sepak bola, perhitungan politik di tataran teori dan kenyataan di lapangan tak harus selalu sejalan. Bagi Sutiyoso, hambatannya untuk terpilih kembali sebagai orang nomor satu di Daerah Khusus Ibu Kota memang bukan di ruang DPRD. Suara protes justru nyaring terdengar dari jalanan, dari kalangan mahasiswa, LSM, dan aktivis lainnya. Jumlah mereka jelas jauh lebih banyak ketimbang para wakil rakyat di Balai Kota, tapi tatanan politik yang ada membuat yang lebih banyak itu tak punya banyak arti. Setidaknya dalam koridor politik formal. Apalagi Sutiyoso juga memperoleh restu dari Istana. Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz secara terbuka telah memberikan dukungan bagi letnan jenderal purnawirawan ini untuk terus bertakhta di kursi gubernurnya. Sokongan Mega ini menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan khalayak, terutama kalangan akar rumput PDIP. Sebab, Sutiyoso adalah Panglima Daerah Militer Jakarta ketika peristiwa penyerbuan markas Partai Banteng pada 27 Juli 1996 terjadi. Bahkan status tersangka disandang Sutiyoso dalam penyidikan peristiwa ini. Lagi pula, prestasinya sebagai penguasa daerah Ibu Kota semenjak diangkat sebagai gubernur pada 1997 oleh Soeharto juga tidak istimewa. Apalagi jika dibandingkan dengan prestasi gubernur yang berhasil seperti Ali Sadikin. Semua runtutan fakta di atas menimbulkan dugaan ada "kepentingan" lain di belakang pencalonan Sutiyoso oleh Presiden Megawati. Terutama bila dikaitkan dengan kabar bahwa pengusung utamanya di Kandang Banteng adalah Theo Syafei, ketua pemenangan pemilu PDIP yang—seperti Sutiyoso—dibesarkan di kesatuan baret merah. Ada kesan Theo memanfaatkan ilmu sandi yudha (siasat tempur intelijen militer) yang digelutinya selama berkiprah di Komando Pasukan Khusus untuk memenangkan PDIP pada Pemilu 2004 nanti. Siasat ini, agaknya, ditujukan untuk membuat pihak yang dahulunya dikenal sebagai lawan berubah menjadi kawan setia. Sutiyoso, dalam konteks ini, adalah simbol TNI yang dahulu digunakan Soeharto untuk menggempur PDIP dan kini akan dimanfaatkan untuk kepentingan Partai Banteng. Bila kiat ini berjalan, berarti sebuah kekuatan sosial politik yang bersenjata dan bermitra dengan kalangan berduit banyak, dapat diubah dari berpotensi sebagai ancaman menjadi pengawal setia. Ini ibarat mengubah gerilyawan musuh menjadi milisi yang tepercaya. Cara ini mungkin efektif untuk mempertahankan, bahkan memperbesar kekuasaan. Namun harga yang harus dibayar akan terlalu besar. Sebab, dampak buruknya akan terasa keras pada upaya mereformasi TNI dari alat kekuasaan menjadi alat negara. Selain itu, koalisi dengan kekuatan yang korup akan menghasilkan negara yang korup pula. Padahal, sejarah dunia telah membuktikan bahwa rezim yang berkoalisi dengan kekuatan hitam tak akan lama umurnya. Presiden Megawati perlu diingatkan untuk mewaspadai gejala ini. Segala cara yang konstitusional perlu dimanfaatkan untuk melakukannya. Untuk itu, mereka yang merasa dirinya sebagai pendukung demokrasi tak boleh berpangku tangan. Protes harus dilontarkan dengan nyaring namun maknanya tetap jelas. Unjuk rasa damai harus digalang untuk menunjukkan bahwa rakyat menginginkan pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berwibawa. Pencalonan Sutiyoso harus ditolak bukan karena pribadinya, melainkan karena motif yang melatarbelakangi dukungan dari Istana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus