Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Senja Kala Akbar di Senayan

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanya satu hal yang bisa dipuji dari Akbar Tandjung setelah vonis tiga tahun penja-ra dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Yakni, caranya menjaga kesehatan sehingga ia tetap bisa bertahan mengikuti berbagai rapat sampai larut malam. Bayangkan ketahanan fisik Akbar. Ketika mengikuti pembacaan vonis yang hampir berlangsung seharian, ia belum tidur karena semalaman melakukan wirid di kantor DPP Golkar. Hari-hari setelah vonis jatuh, ia terus memimpin rapat, baik di rumahnya maupun di hotel tempat pengurus DPD Golkar menginap. Luar biasa. Rapat maraton ini tampaknya penting. Akbar dan pendukungnya sedang menyusun strategi, bagaimana mempertahankan jabatan Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Selama ini Akbar memang dikenal sebagai politisi yang gigih dan ulet, juga licin. Kegigihannya untuk mempertahankan jabatan Ketua Umum Partai Golkar tak banyak orang mempermasalahkan. Paling itu urusan para elite dan anggota partai itu sendiri. Tetapi, jika kegigihan itu untuk mempertahankan jabatan Ketua DPR RI, ada yang patut disayangkan. Ada yang dilanggar, dan ini sesuatu yang mendasar dalam pendidikan politik, yakni masalah etika dan moral. Anggota DPR sering disebut sebagai wakil rakyat yang terhormat. Pimpinan DPR RI tentulah orang yang paling terhormat pula. Sekarang, status Akbar Tandjung bukan lagi "yang terhormat", tetapi "yang terhukum", atau ada yang menyebut sudah menjadi "yang terpidana". Ia sudah dihukum tiga tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi. Sekali lagi korupsi, bukan pelanggaran lalu lintas atau salah omong lalu digugat orang lain. Memang Akbar menempuh upaya banding, dan karena itu ia menyebut vonis PN Jakarta Pusat ini belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Tapi ada banyak pakar yang menyebut masalah banding dan kasasi hanya proses klarifikasi dari hakim yang lebih tinggi. Bahkan komentar Baramuli, tokoh Golkar yang jadi "musuh bebuyutan" Akbar Tandjung, upaya banding ini harus diartikan bahwa penetapan hukuman yang dijatuhkan pengadilan negeri belum bisa dilaksanakan. Artinya, kesalahan Akbar itu terbukti, pelaksanaan hukumannya belum. Celakanya, tidak ada undang-undang yang mengatur boleh tidaknya seorang pejabat tetap duduk di jabatannya setelah mendapatkan vonis dari pengadilan tingkat pertama. Tidak adanya aturan ini membuat Syahril Sabirin tetap memegang jabatan Gubernur Bank Indonesia kendati sudah divonis penjara oleh pengadilan tingkat pertama. Kalau ini dijadikan contoh kasus, termasuk oleh pihak Akbar Tandjung, ini adalah contoh yang sangat buruk. Semestinya pejabat yang sudah dihukum oleh pengadilan negeri langsung dinonaktifkan, kalau tidak mau mundur. Besar sekali risikonya seorang pejabat yang memimpin lembaga tinggi berstatus terhukum. Di mata masyarakat, lembaga itu pun menjadi tercela karenanya. Ada baiknya dipikirkan sejak sekarang, bagaimana memperlakukan seorang pejabat negara jika tersangkut masalah pidana. Nonaktif atau langsung mundur, dan jika nanti dibebaskan di tingkat banding dan kasasi, bisa diaktifkan kembali. Apalagi kalau menyangkut jabatan yang merupakan mandat kepercayaan rakyat. Bagaimana rakyat bisa percaya lagi kalau pejabat itu dinyatakan bersalah karena korupsi atau setidak-tidaknya memperkaya orang lain? Lebih-lebih menyangkut uang puluhan miliar, jumlah yang membuat rakyat tercengang, karena seorang pencuri kambing pun bisa langsung masuk penjara meski menunggu banding. Kalau kita boleh menasihati Bung Akbar, kita berharap ia mundur dengan suka rela, orang Jawa bilang legowo, dari kursi Ketua DPR RI. Kursi itu, ibarat sebuah kuis di televisi, kini sudah panas. Setelah mundur, Akbar silakan terus gigih memperjuangkan nasibnya di pengadilan banding, termasuk tetap gigih mempertahankan jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Jika ternyata di tingkat banding dan kasasi ia dinyatakan bebas, tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, namanya akan pulih dengan sendirinya. Ia kembali menjadi orang yang terhormat dan bisa berdiri tegap mengangkat tangannya dengan senyum menebar. Berbekal kepiawaian dan pengalamannya yang panjang dalam politik, mungkin ia bisa bangkit lebih baik dari sekarang ini, yang gambarnya di media massa lebih memancarkan kemurungan. Kalau Akbar tetap ngotot melawan arus dan "maju tak gentar" mempertahankan kursi Ketua DPR RI, ia akan menjadi "terpidana politik". Ia untuk selamanya tidak bisa menjadi panutan, ia hanya memberi contoh buruk seperti halnya Syahril Sabirin, ia tidak meletakkan dasar-dasar bagaimana pemimpin yang bermoral dan punya etika. Lagi pula, wakil rakyat yang dipimpinnya akan sibuk dengan berbagai manuver untuk menggoyangnya, dan Akbar akan senantiasa menjadi bulan-bulanan. Bayangkanlah kalau seorang anggota dewan tampil di mimbar dan mengawali pidatonya dengan: "Ketua Dewan yang Terhukum dan Terpidana…." Akan lebih buruk lagi bagi Akbar jika ia dipaksa mundur sebagai Ketua DPR RI oleh anggotanya sendiri. Proses ini bisa saja bergulir dan suara-suara ke arah itu sudah mulai terdengar. Jika proses ke arah ini betul terjadi, konsentrasi DPR yang menyiapkan dengan segera perangkat undang-undang yang berkaitan dengan politik—untuk menyongsong Pemilu 2004—bisa terganggu. Lagi-lagi Akbar menyiakan kesempatannya untuk menjadi seorang kesatria, karena menyeret lembaga tinggi ini untuk urusan pribadinya. Wahai Bung Akbar, mundurlah. Jika nanti sudah diperoleh kepastian hukum dari upaya banding dan kasasi, di situlah Anda akan kembali menjadi orang yang terhormat di negeri ini. Itu kalau vonisnya bebas, lo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus