Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJATINYA pembangunan bandar udara di negeri ini tak pernah berhenti. Baru saja perluasan Bandara Internasional Ngurah Rai diresmikan, Bandara Juanda di Surabaya sedang merampungkan Terminal 2 setelah Terminal 1 beroperasi. Sejumlah bandara baru sudah beroperasi: Bandara Kualanamu yang menggantikan Bandara Polonia Medan, Bandara Praya yang menggantikan Bandara Mataram di NTB, juga Bandara Hasanuddin Makassar yang dinilai lebih megah daripada Bandara Soekarno-Hatta.
Menggebunya perluasan dan pembangunan bandara baru tetap saja kalah berpacu dengan pertumbuhan jumlah penumpang. Ketika mulai beroperasi pada 1984, Bandara Soekarno-Hatta bukan saja disebut bandara terbesar dan termewah di Indonesia, melainkan juga diprediksi mampu melayani penumpang dalam kurun setengah abad ke depan. Bandara ini menggantikan dua bandara sebelumnya, yakni Kemayoran dan Halim Perdanakusuma.
Kini, baru 30 tahun kemudian, Bandara Soekarno-Hatta sesak padat dengan pelayanan yang kurang memadai. Ledakan jumlah penumpang memang dahsyat. Bandara yang ditargetkan melayani 17 juta penumpang per tahun itu kini harus melayani 40 juta penumpang. Angkasa Pura kewalahan, dan balik lagi melakukan revitalisasi Bandara Halim untuk penerbangan komersial.
Angkasa Pura, BUMN spesialis pengelola bandara, sudah keteteran membenahi bandara yang dikelolanya. Meski sudah dipecah dua—Angkasa Pura I untuk wilayah timur dan Angkasa Pura II untuk wilayah barat—sebagai perusahaan yang memonopoli jasa penerbangan, Angkasa Pura sudah kelebihan beban. Pemerintah selama ini menutup investasi swasta untuk pengelolaan bandara.
Kini investasi swasta dibuka lebar. Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan pemerintah sedang menimbang opsi untuk mengakhiri monopoli Angkasa Pura dengan mencoret pengelolaan bandara dalam daftar negatif investasi. Dengan begitu, peluang swasta terbuka, bahkan ada peluang pihak asing masuk ke bisnis pelayanan penerbangan Indonesia. Pemerintah sudah menawarkan sepuluh bandara kepada swasta.
Kebijakan ini harus disambut baik karena monopoli memang tidak sehat. Pada saat ini terdapat 172 bandara, sementara Angkasa Pura baru mengelola 26—itu pun hanya yang besar-besar. Sudah saatnya bandara yang terpencil tapi menjanjikan masa depan—misalnya Bandara Komodo—segera dibangun dan diberikan pengelolaannya kepada swasta.
Harus pula diingat bahwa bandara yang kita miliki kebanyakan pangkalan militer yang sebagian disulap menjadi area komersial. Bandara internasional yang sudah lepas dari pangkalan militer hanyalah Soekarno-Hatta, Kualanamu, dan Praya di Lombok. Bandara Juanda adalah pangkalan TNI AL. Bandara Ahmad Yani Semarang pangkalan TNI AD. Selebihnya adalah pangkalan TNI AU. Dengan begitu, ada unsur pertahanan yang harus dicermati. Beberapa bandara masih menggunakan fasilitas pemandu (radar) milik militer.
Sudah saatnya pemerintah tak terpaku pada bandara besar di Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya, atau Denpasar. Puluhan bandara di provinsi lain yang selama ini dikategorikan domestik, bahkan bandara perintis, harus ditingkatkan. Pemerintah tak perlu repot mengelola sendiri: ajaklah swasta berpacu di landasan pesawat terbang ini. Melihat pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah yang terus membaik, tentu investasi ini menguntungkan karena semakin banyak orang berlalu-lalang lewat udara.
berita terkait di halaman 108
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo