Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG bloger memberi ilustrasi menarik merespons euforia polisi wanita atau polwan berjilbab. Misalkan polwan berjilbab ini sedang bertugas menghadang penjahat. Lantas si penjahat berteriak, "Jangan sentuh! Kita bukan muhrim!" Apa yang akan dilakukan polwan berjilbab?
Ilustrasi itu akan diuji di lapangan. Bisakah badan pelayanan publik yang dituntut sangat fleksibel seperti polwan itu tetap hebring meski kini tertutup jilbab? Mereka harus bisa lebih luwes ketika sedang bertugas, tanpa kendur dalam melaksanakan perintah agama. Meski berjilbab, demi tugas, mereka tak boleh enggan menyentuh tangan pria dengan dalih bukan muhrimnya.
Membolehkan polwan berjilbab jangan disederhanakan dengan urusan membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas. Bukan perkara sulit bagi Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman sekadar merevisi atau mengubah surat keputusan ihwal pakem seragam polisi yang diteken di era Jenderal Sutanto, pada 2005.
Mengizinkan polwan memakai hijab bukan pula menyangkut anggaran semata. Kendati belum resmi diputuskan Kapolri, yang sejauh ini hanya memberi sinyal oke, polwan ramai-ramai berjilbab tanpa mempersoalkan apakah kantornya menyiapkan bujet. Parade polwan berjilbab itu kini ramai dipertontonkan dalam aneka pakaian kedinasan. Belum jelas warna jilbab yang dianjurkan, meski ada pejabat polisi yang mencibir jangan berwarna pink.
Begitu Kapolri resmi memutuskan polwan boleh berjilbab, akan muncul proyek pengadaan jilbab. Semilir angin proyek mulai bertiup ketika Markas Besar mengundang seorang desainer busana muslimah mempresentasikan jilbab polwan pada Juni lalu. Gerakan ini mengakomodasi keinginan polwan merespons keputusan Kapolri pada 2003, yang membolehkan berjilbab khusus bagi polwan di Aceh, kawasan istimewa yang diatur berdasarkan qanun syariat.
Berjilbab, atau berhijab, memang merupakan hak asasi setiap orang, termasuk polwan. Mereka berhak meminta dukungan Majelis Ulama Indonesia dan organisasi kemasyarakatan Islam, dan disokong gerakan via Facebook dukung polwan berjilbab. Tuntutan ini rupanya ampuh, sehingga mulai dibuka pelan-pelan di era Jenderal Timur Pradopo, lalu makin kencang ketika Jenderal Sutarman menjabat orang nomor satu di Kepolisian.
Begitu pintu polwan berjilbab dibuka, masih ada rentetan masalah lain yang perlu diperhatikan. Mereka yang berjilbab, ketika berdinas, pastilah menolak pula aturan memakai kemeja lengan pendek dan rok yang pakemnya diatur dengan batas 15 sentimeter di atas lutut. Polwan berjilbab tentu akan minta dikecualikan dari ketentuan ini. Mereka akan boleh bercelana panjang atau mengenakan baju terusan yang langsung bisa dipakai salat.
Lolosnya kebijakan ini harus dipahami sebagai penerapan hak asasi demi menjalani syariat atau hukum agama yang dijamin konstitusi. Karena itu, sifatnya hanyalah pilihan: memakai boleh, tidak pun tak jadi soal. Prinsipnya, Kapolri tak boleh mewajibkan atau melarang anggotanya berjilbab.
Polwan berjilbab harus tetap bisa bergerak leluasa memaksimalkan pelayanannya kepada masyarakat, tak boleh terhambat oleh jilbabnya. Kinerja mereka diukur dari perbuatan keseharian dalam bertugas, bukan lantaran patuh menjalani syariat. Syukur-syukur, setelah berjilbab, kinerjanya makin membaik, integritasnya kian kinclong, dan tak bisa disuap—apalagi berkongkalikong.
wawancara terkait di halaman 138
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo