TENGAH malam itu ia bangkit, dan menyeberangi lorong istana yang
lengang, menuju ke kamar istrinya. Dibukanya pintu. Di ranjang
sana, dalam cahaya redup, ia lihat wanita itu tidur. Salah satu
tangannya seperti tengah mengelus kepala sang bayi, anak mereka
-- yang akan harus ia tinggalkan.
Sekejap ingin diangkatnya anak itu, untuk dipeluknya terakhir
kali. Tapi ia khawatir sang ibu muda akan terbangun. Maka ia
mengurungkan niatnya. Ia telah memutuskan pergi. Perlahanahan
ia pun melangkah ke luar kamar, ke luar istana, ke luar kota,
menuju hutan.
Ia, Pangeran Siddhartha, tahu: ia tak akan kembali lagi sebagai
dirinya dulu. Dalam usia 29 tahun, ia berangkat mengembara
mencari jawab atas pertanyaan ini: apa yang harus dilakukan
manusia, bila hidup hanya penderitaan.
Hidup, sebagaimana disaksikannya sudah, memang hanya
kesementaraan, melalui sakit, usia tua dan mati. Dengan kata
lain, suram.
Tentu saja ada kecenderungan melebih-lebihkan dalam pandangan
seperti ini. "Dalam seluruh sejarah pemikiran," tulis
Radhakrishnan di bab ke-15 Indian Pbilosophy, "tak seorang pun
mengecat kenestapaan eksistensi manusia dalam warna yang lebih
hitam dan dengan lebih berperasaan ketimbang Budha".
Pangeran yang jadi orang suci itu memang ingin menanam kerinduan
pada hati manusia agar melepaskan diri dari dunia ini. Karena
itu, dalam kata-kata Radhakrishnan, "warna hitamnya sedikit agak
berlebihan".
Sedikit berlebihan atau banyak, ajaran sang Budha 2.000 tahun
yang silam, seperti ajaran agama yang datang sebelum dan
sesudahnya, pada dasarnya menggamit manusia untuk menaban diri
dari hasrat yang berlebihan. Kejahatan dasar bagi Budhisme ialah
tanha, keinginan yang mementingkan diri sendiri.
Dalam hal itu Budha tak sendiri, bahkan tak orisinil -- kalaupun
ada ajaran yang boleh dikatakan 100% orisinil. Ketika ia tumbuh
dewasa konon ia bisa menyaksikan betapa jalanan, balairung, juga
hutan India penuh dengan para paribbajaka atau pengembara.
Mereka berpindah-pindah, melontarkan ajaran mencari murid,
berdebat sengit. Di antara mereka nampak kaum nihilis, kaum
materialis -- yang menafikan dewa atau kaum agnostik. Ketika
Siddhartha meninggalkan kraton ia pun sebenarnya mengikuti cara
paribbajaka itu.
Tapi ia juga tak pernah mengklaim diri sebagai pendurhaka kepada
Upanishad, kitab suci itu. Menyaksikan begitu banyak perdebatan,
jor-joran ajaran, keresahan orang yang serba sangsi dan
kebingungan orang yang toleran, Budha menghindari persoalan
metafisika dan ketuhanan. Ia menyodorkan pedoman moralitas. Ia
tak mengacuhkan ritual ataupun pemujaan ia memurnikan hati.
Mungkin karena itu Budhisme juga bisa dianggap tak memuaskan
oleh sebagian orang: ajaran ini tak hendak memperbaharui atau
memperbaiki dunia, melainkan justru mengambil jarak dari
padanya "Sebagaimana setangkai teratai putih tak ternoda oleh
air, demikian pula aku tak terkenai oleh dunia". Itukah rasa
bahagia sejati yang disebut nirwana -- sesuatu yang tak dicapai
dengan revolusi, pengambil-alihan kekuasaan, penyingkiran,
pelaksanaan rencana ke arah suatu surga di bumi?
BARANGKALI. Tapi itu tak berarti dalam sejarahnya Budhisme bisa
bebas betul dari keniscayaan-keniscayaan yang menyebabkan ajaran
menjadi besar dan menegakkan bendera. Bunga teratai itu pun mau
tak mau harus basah. Tanpa hasrat mendapat keagungan, Borobudur
mungkin tak akan dibangun. 1.001 patung di kuil Sangjusangan-do
di Kyoto tak akan ada. Manusia memuja dan bersama itu sering
ingin pula dipuja, seraya meninggalkan jejak dalam
kesemanteraannya.
Barangkali karena nasib yang seperti itulah banyak ajaran
berseru kembali tentang "pemurnian". Kita tak pernah tahu apa
itu akhirnya di dunia yang penuh tugas sedih ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini