Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ajaran budha

Budhisme sebagai ajaran mungkin tak memuaskan semua orang. ajaran ini tak hendak memperbaiki dunia, tapi menjauhinya. tapi dalam sejarahnya, agama ini tak berarti bebas betul dari masalah dunia.

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGAH malam itu ia bangkit, dan menyeberangi lorong istana yang lengang, menuju ke kamar istrinya. Dibukanya pintu. Di ranjang sana, dalam cahaya redup, ia lihat wanita itu tidur. Salah satu tangannya seperti tengah mengelus kepala sang bayi, anak mereka -- yang akan harus ia tinggalkan. Sekejap ingin diangkatnya anak itu, untuk dipeluknya terakhir kali. Tapi ia khawatir sang ibu muda akan terbangun. Maka ia mengurungkan niatnya. Ia telah memutuskan pergi. Perlahanahan ia pun melangkah ke luar kamar, ke luar istana, ke luar kota, menuju hutan. Ia, Pangeran Siddhartha, tahu: ia tak akan kembali lagi sebagai dirinya dulu. Dalam usia 29 tahun, ia berangkat mengembara mencari jawab atas pertanyaan ini: apa yang harus dilakukan manusia, bila hidup hanya penderitaan. Hidup, sebagaimana disaksikannya sudah, memang hanya kesementaraan, melalui sakit, usia tua dan mati. Dengan kata lain, suram. Tentu saja ada kecenderungan melebih-lebihkan dalam pandangan seperti ini. "Dalam seluruh sejarah pemikiran," tulis Radhakrishnan di bab ke-15 Indian Pbilosophy, "tak seorang pun mengecat kenestapaan eksistensi manusia dalam warna yang lebih hitam dan dengan lebih berperasaan ketimbang Budha". Pangeran yang jadi orang suci itu memang ingin menanam kerinduan pada hati manusia agar melepaskan diri dari dunia ini. Karena itu, dalam kata-kata Radhakrishnan, "warna hitamnya sedikit agak berlebihan". Sedikit berlebihan atau banyak, ajaran sang Budha 2.000 tahun yang silam, seperti ajaran agama yang datang sebelum dan sesudahnya, pada dasarnya menggamit manusia untuk menaban diri dari hasrat yang berlebihan. Kejahatan dasar bagi Budhisme ialah tanha, keinginan yang mementingkan diri sendiri. Dalam hal itu Budha tak sendiri, bahkan tak orisinil -- kalaupun ada ajaran yang boleh dikatakan 100% orisinil. Ketika ia tumbuh dewasa konon ia bisa menyaksikan betapa jalanan, balairung, juga hutan India penuh dengan para paribbajaka atau pengembara. Mereka berpindah-pindah, melontarkan ajaran mencari murid, berdebat sengit. Di antara mereka nampak kaum nihilis, kaum materialis -- yang menafikan dewa atau kaum agnostik. Ketika Siddhartha meninggalkan kraton ia pun sebenarnya mengikuti cara paribbajaka itu. Tapi ia juga tak pernah mengklaim diri sebagai pendurhaka kepada Upanishad, kitab suci itu. Menyaksikan begitu banyak perdebatan, jor-joran ajaran, keresahan orang yang serba sangsi dan kebingungan orang yang toleran, Budha menghindari persoalan metafisika dan ketuhanan. Ia menyodorkan pedoman moralitas. Ia tak mengacuhkan ritual ataupun pemujaan ia memurnikan hati. Mungkin karena itu Budhisme juga bisa dianggap tak memuaskan oleh sebagian orang: ajaran ini tak hendak memperbaharui atau memperbaiki dunia, melainkan justru mengambil jarak dari padanya "Sebagaimana setangkai teratai putih tak ternoda oleh air, demikian pula aku tak terkenai oleh dunia". Itukah rasa bahagia sejati yang disebut nirwana -- sesuatu yang tak dicapai dengan revolusi, pengambil-alihan kekuasaan, penyingkiran, pelaksanaan rencana ke arah suatu surga di bumi? BARANGKALI. Tapi itu tak berarti dalam sejarahnya Budhisme bisa bebas betul dari keniscayaan-keniscayaan yang menyebabkan ajaran menjadi besar dan menegakkan bendera. Bunga teratai itu pun mau tak mau harus basah. Tanpa hasrat mendapat keagungan, Borobudur mungkin tak akan dibangun. 1.001 patung di kuil Sangjusangan-do di Kyoto tak akan ada. Manusia memuja dan bersama itu sering ingin pula dipuja, seraya meninggalkan jejak dalam kesemanteraannya. Barangkali karena nasib yang seperti itulah banyak ajaran berseru kembali tentang "pemurnian". Kita tak pernah tahu apa itu akhirnya di dunia yang penuh tugas sedih ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus