Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak yang berharap hubungan ini akan lebih baik. Maklum, sejak Republik berdiri, hubungan militer-sipil dibangun dengan motif sakit hati dan dendam. Kalangan sipil pernah mengontrol dan mencampuri soal-soal militer di masa Demokrasi Parlementer. Sakit hati militer atas campur tangan sipil itu kemudian mencetuskan Peristiwa 17 Oktober 1952, saat pasukan Angkatan Darat mengarahkan moncong meriam ke istana tempat Bung Karno berdiam. Tak cukup sampai di situ, Angkatan Darat, sebagai pembalasan dendam, kemudian "mengobok-obok" partai-partai politik, terutama sejak 1957-1959, di masa peralihan Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpinseperti dicatat LIPI dalam buku Tentara Mendamba Mitra. Intervensi militer dalam kehidupan partai politik itu makin jelas setelah Soeharto berkuasa, terutama sejak Pemilu 1971yang dimenangi Golongan Karya (yang waktu itu masih bernama Sekber Golkar), yang dibentuk oleh militer.
Bahkan, sepanjang Soeharto berkuasa, atas nama "stabilitas", campur tangan militer benar-benar menelikung dan menentukan hidup-matinya politik di kalangan sipil. Jumlah partai politik diringkas, ketua partai haruslah orang yang "direstui" pemerintah, DPR dan MPR didominasi kalangan militer atau mereka yang patuh kepada militer, posisi strategis di kabinet dipegang militer, dan gubernur serta bupati di daerah strategis juga dipegang tentara. Sukar dibedakan apakah dominasi militer itu memang dikehendaki Markas ABRI atau itu cara Soeharto memelihara kekuasaannya. Paling tidak, saat itu terjadi simbiosis mutualisme yang sama-sama menguntungkan ABRI dan Soeharto.
Semua inilah yang dirombak di Cilangkap pekan lalu. Itu artinya kelak TNI tak akan punya anggota di DPR dan DPRD, anggota TNI yang berminat menjadi gubernur atau bupati harus pensiun dan memasuki parpol, dan tak ada lagi TNI aktif yang bekerja di departemen atau instansi pemerintah lainnya. Jika komitmen ini dipegang teguh, dan dijalankan dengan sungguh, langkah kembali ke "barak" ini jelas sumbangan penting TNI untuk demokratisasi di sini.
Tapi ada pertanyaan tersisa: bagaimana sikap Cilangkap terhadap keterlibatan TNI di bidang bisnis? Sekarang ini ada ratusan koperasi, yayasan, dan perusahaan yang dikelola militer. Barangkali resep dari Republik Rakyat Cina bisa ditiru. Semua usaha militer di Cina diambil alih pemerintah, menjadi semacam badan usaha milik negara. Hasil usahanya tetap bisa dipergunakan untuk kesejahteraan prajurit. Dan rasanya semua sepakat, mencabut TNI dari "fungsi" bisnisnya haruslah diimbangi dengan kompensasi pendapatan yang memadai. Itu agar "premanisme" di kalangan pemegang bedil itu tak merajalela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo