Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi penyebabnya sama saja: pemuda yang mabuk. Kerusuhan Desember 1998 diawali oleh penganiayaan terhadap seorang pemuda yang tiduran di masjid Kelurahan Sayo, dekat pusat Kota Poso, oleh segerombol pemuda yang tengah teler. Penduduk kampung mengejar. Karena tak ketemu para biang kerok itu, penduduk membakar hampir 30 bangunan rumah biliar, restoran, dan toko.
Sabtu malam dua pekan lalu, kerusuhan diawali perkelahian antara dua pemuda teler di Terminal Kasiwuntu. Entah apa maksudnya, seorang pemabuk mengiris tangannya sendiri. Ia kemudian berteriak-teriak dan mengatakan ia dibacok warga Lambogia. Penduduk geger. Ditambah isu ada penduduk yang dibunuh di Lambogiayang mayoritas dihuni warga Kristianimaka segeralah parang dan golok diacungkan. Lambogia siap diserbu. Tapi Brimob menghadang. Munculnya Brimob membuat Sudatmono, 41 tahun, warga Kayamanya yang tengah berada di terminal, merasa aman. Eh, tiba-tiba malah ia tertembak. "Saya dibawa ke Rumah Sakit Umum Undata Palu," ceritanya. Keesokan harinya, massa datang dengan kekuatan lebih besar. Bentrokan tak terhindari. Peluru-peluru berhamburan. Tiga tewas. Puluhan massa terluka.
TEMPO menyaksikan tiga gereja di Lambogia separuh rata dengan tanah, lebih 230 bangunan termasuk sekolah dan kantor Bhayangkara luluh-lantak oleh api. Aksi pembakaran tak tanggung-tanggung, berlangsung dari Minggu sampai Kamis pekan lalu. Sementara itu, Desember 1998 lalu, tak satu pun korban tewas dan bangunan yang dirusak jauh lebih sedikit.
Mengapa mereka yang menyerang Lambogia itu begitu kalap? Ada kabar, mereka marah karena menemukan seorang teman mereka tewas di antara puing-puing dengan peluru menembus leher. Akibat kemarahan itu, dua pemuda di Kelurahan Sayo langsung dihajar ramai-ramai sampai tewas.
Walhasil, Poso di malam hari ibarat kota mati. Bangunan terasa angker. Tak ada kendaraan umum. Terlihat di berbagai sudut, seperti di Ambon, gerombolan memakai ikat kepala putih membawa parang. Di depan rumah dikibarkan kain putih, kadang bertuliskan huruf Arab.
Adakah motif politik atau perebutan kekuasaan di balik kerusuhan ini? Orang menduga begitu. Soalnya, rusuh Desember 1998 itu terjadi pas sebelum pemilihan bupati. Dan sekarang kerusuhan terjadi sebelum pemilihan sekretaris wilayah daerah. Menurut sumber di Polres Poso, pemberitaan harian Mercusuar edisi Sabtu 15 April 2000 rupanya sudah "meramalkan" bakal terjadinya huru-hara. Sumber ini menyebut hal ini sebagai indikasi adanya motif politik. Judul tulisan Poso Bakal Rusuh Kembali di koran itu merupakan kutipan kata-kata Haelani Umar, tokoh masyarakat Poso.
Dalam artikel itu Umar berbicara tentang aspirasi masyarakat Poso yang disumbat dalam pencalonan bursa sekwilda. Aspirasi masyarakat, menurut Umar, menginginkan Drs. Damsik Ladjalani untuk menduduki jabatan tersebut. Kelebihan Damsik, menurut Umar, adalah ia bisa diterima baik oleh warga Nasrani dan muslim. "Ya, ini sekadar mengingatkan. Jangan kami yang susah payah meredam (konflik), tapi justru ada realitas kontradiksi yang sengaja dibangun untuk kepentingan golongan tertentu," demikian kata-kata Umar yang menjadi ending berita Mercusuar.
Umar mengancam? "Judul itu tidak betul. Saya tidak menggunakan kata-kata tersebut. Itu wartawan yang salah mengutip," tampik Umar, anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Selatan ini.
Sumber Polres mengatakan bahwa ketika terjadi rusuh Desember 1998, menjelang pemilihan bupati, sebenarnya Damsik Ladjalani telah dijagokan oleh Haelani Umar dan bupati lama Arif Patanga, tapi ia kalah suara dari Muin Pasadan, yang terpilih menjadi Bupati Poso sampai sekarang. Kata sumber ini, Damsik ikut membiayai kerusuhan. Kini, menjelang pemilihan sekwilda, kelompok ini menginginkan Damsik naik takhta, tapi jalan ke arah itu terhambat karena Damsik telanjur dipromosikan menjadi Wakil Ketua Bappeda Sul-Teng.
Tak jelas benar apakah analisis itu ada kaitannya dengan kerusuhan atau tidak. Tapi, di Pengadilan Negeri Poso tengah digelar kasus kerusuhan 1998 dengan terdakwa Agfar Patanga, yang tak lain adalah adik Arif Patanga, sang bupati lama Poso. Vonis memang belum jatuh, dan semua "teori konspirasi" dalam memperebutkan jabatan penting di Poso belum bisa dibuktikan. Yang sudah terbukti ada: sebagian penduduk Poso menjadi korban, rumah mereka dibakar, dan kini mereka mengungsi.
Seno Joko Suyono, Verrianto Madjowa (Poso)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo