Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Super-Soeharto

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEHARTO tak cuma menjadi persoalan ketika ia sehat dan berkuasa. Setelah tak lagi menjadi presiden dan menderita stroke pun ia membebani bangsa Indonesia. Keadaan kesehatannya yang berada di daerah kelabu membuat status hukumnya tak jelas dan diperdebatkan. Dapatkah bekas orang kuat Republik ini diproses secara hukum, atau pengampuan harus diberikan kepadanya?

Bukan persoalan gampang. Pemberian pengampuan berarti Soeharto tak dapat diadili, karena itu tak dapat dinyatakan bersalah atau tidak bersalah secara hukum. Sebaliknya, jika persidangan dilakukan, timbul persoalan tentang kesahihan keputusan pengadilan. Masalahnya, kesaksian dan pengakuan seseorang yang telah mengalami cedera otak parah—hingga sebagian memorinya rusak—tentu sulit dipertanggungjawabkan.

Keadaan ini membuat upaya menutup buku Orde Baru untuk memulai orde yang lebih baik jadi sulit. Ketegaran sikap Soeharto yang selalu menyatakan dirinya tidak bersalah dan meminta keadilan hukum membuat peluang menyelesaikan persoalan melalui mekanisme politik menemui jalan buntu. Kesepakatan Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien Rais untuk memaafkan Soeharto pun jadi seperti tiada arti. Sebab, pemberian maaf kepada yang tak merasa bersalah akan ditolak, bahkan dianggap sebagai pelecehan.

Bagi Soeharto, apa yang dilakukannya selama ini diyakininya sebagai sebuah kebenaran, dan di titik inilah pusat persoalan. Apalagi, seperti nasib Rahwana dalam lakon Ramayana, "kebenaran" Soeharto ini tak pernah mati kendati tubuhnya terjepit oleh dua bukit batu yang masif. Bahkan, persis bagaikan babak akhir cerita Valmiki itu, kita dapat membayangkan bagaimana gelembung-gelembung pengaruh juga akan diproduksi oleh "kebenaran" Soeharto, menyebar melalui dimensi ruang dan waktu, untuk memunculkan kader-kader baru di masa datang.

Barangkali ini sudah suratan takdir. Apa boleh buat, bila bangsa Jerman selalu harus mewaspadai "neo-Nazi" karena Hitler tak pernah diadili, bangsa Indonesia mungkin harus selalu cemas akan kemunculan Soeharto-Soeharto baru. Mereka yang, atas nama membangun kestabilan dan kesejahteraan, merasa berhak untuk memungut biaya di depan, dengan memendam dulu hak asasi manusia dan rasa keadilan.

Kita tahu bahwa Valmiki tak sendirian dalam meramalkan mudahnya setiap insan terkena pengaruh gelembung jahat Rahwana. Berabad-abad kemudian seorang pemikir Inggris, Thomas Hobbes, menulis tentang sang Leviathan, dengan tokoh-tokoh bernama lain tapi dengan alur cerita yang serupa, tentang kecenderungan kelompok manusia untuk cemas terhadap kemungkinan anarki dan kepapaan serta kerentanannya untuk mengorbankan berbagai hak kepada kekuatan yang mampu meredam kecemasan itu.

Dalam konteks pemikiran seperti inilah penuntasan kasus hukum Soeharto menjadi terasa begitu penting. Seandainya saja Tuhan memberkati Soeharto dengan kemampuan untuk mengaku salah, bertobat, dan meminta pengampunan kepada rakyat Indonesia, banyak masalah akan segera sirna. Ini akan menjadi katarsis bagi seluruh bangsa, dan peluang rekonsiliasi nasional pun akan terbuka lebar. Sebuah babak—yang banyak kelamnya—akan ditutup dengan selayaknya dan babak baru, yang menjanjikan pencerahan, dapat dimulai dengan kepala tegak dan hati yang lapang.

Sayangnya kita tak dapat berharap banyak terhadap kemungkinan ini. Soeharto dikenal sebagai orang yang keras kepala—Presiden Sukarno menyebutnya sebagai jenderal yang koppig. Selain itu, keadaan kesehatannya saat ini membuat apa pun yang dilakukannya akan selalu dicermati dengan kemasgulan. Akan selalu muncul pertanyaan apakah hal itu dilakukan dengan kesadaran penuh atau hanya bagian dari sebuah kepikunan belaka.

Maka, alternatif penuntasan yang lain harus dipertimbangkan matang-matang. Barangkali kemungkinan tidak ada pilihan lain di luar pengampuan sudah selayaknya dipikirkan serius. Soeharto boleh saja tak dapat diadili, tetapi bukan berarti para kroni dan keluarga lantas lepas dari dosa-dosa masa lalu. Bahkan, pemrosesan hukum terhadap mereka berpotensi menjadi katarsis bangsa karena, pada akhirnya, para kroni itu adalah simbol paling kasatmata dari segala dosa Soeharto di masa lampau.

Dalam kaitan ini, jaksa agung memang tak boleh hanya terpaku pada Soeharto. Ibarat serangan melambung bila upaya frontal menghadapi benteng yang kuat, aparat kejaksaan harus menyidik para kroni tanpa mengenal lelah, apalagi suap. Harus ada keyakinan bahwa sekuat apa pun seorang Super-Soeharto, pasti ada kelemahannya. Ibarat dalam dongeng Superman yang menuturkan bahwa manusia super itu menjadi loyo tak berdaya bila terkena radiasi batu krypton, maka kuat dugaan bahwa penyidikan para kroni akan menghasilkan batu krypton bagi seorang Super-Soeharto.

Semua ini akhirnya berpulang pada kemampuan jaksa agung dan aparatnya untuk menegakkan hukum. Dalam hal ini, latar belakang Marzuki Darusman sebagai politisi piawai memang membuat banyak pihak ketar-ketir. Kecenderungannya untuk menyelesaikan setiap masalah melalui mekanisme politik merupakan sebuah titik kelemahan yang harus diwaspadai. Sebab, perannya sebagai jaksa agung adalah memberi amunisi hukum bagi Presiden Abdurrahman Wahid dalam upayanya mencari penyelesaian politik kasus Soeharto.

Ibarat dalam dongeng Superman, tugas jaksa agung adalah menemukan batu krypton penakluk dan bukan untuk bernegosiasi. Kita berdoa—dengan harap-harap cemas—bahwa Marzuki Darusman sadar betul tentang peran strategisnya ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus