Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi pukulan telak yang menyebabkan rupiah sempoyongan, kabarnya, adalah peringkat Standard and Poor's (S & P)diumumkan Selasa, 18 April, menyusul keputusan Paris Club yang menyetujui penundaan pembayaran utang pemerintah Indonesia. Penundaan itu memang meringankan, tapi juga bukti nyata tentang ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kewajibannya. Tak ayal lagi, S & P langsung menurunkan peringkat utang luar negeri Indonesia ke selective default, yang berarti sebagian utang tak dapat dibayar.
Penurunan peringkat ini sekaligus mempertegas perkiraan tentang rapuhnya perekonomian kita. Tentu saja kalangan yang sangat mengetahui keterpurukan kita adalah kreditur asing yang mengucurkan pinjaman untuk swasta Indonesia. Pada awal masa krisis mereka waswas, lalu kecewa, dan belakangan jera. Kecewa karena restrukturisasi utang swasta tidak memperlihatkan kemajuan. Lebih kecewa karena selalu kalah di pengadilan niaga dan terakhir kecewa berat melihat ketidaksungguhan pengusaha Indonesia dalam mencari solusi bagi masalah utang luar negeri mereka. Tahun ini, utang swasta yang jatuh tempo mencapai US$ 29 miliar, hingga diperkirakan akan sulit bagi rupiah untuk kembali menguat. Sebagian utang mungkin bisa dijadwal ulang, tapi mungkin ada juga yang dibayar. Akibatnya, permintaan akan dolar meningkat. Di sinilah kuncinya mengapa ada yang memperkirakan kurs rupiah akan terus melemah dalam beberapa bulan ke depan.
Faktor lain yang ikut menggebuk rupiah adalah peningkatan impor dalam triwulan I tahun 2000 dan mungkin juga pada triwulan berikutnya. Sektor riil mulai bergerak? Tampaknya demikian. Yang pasti importir perlu devisa, kebutuhan akan dolar naik, sehingga rupiah kembali tertekan. Terakhir, dengan suku bunga yang rendah (9-10 persen), lengkaplah sebab-sebab mengapa rupiah kehilangan pamornya.
Apakah masa depan rupiah benar-benar suram? Jawabannya sangat bergantung pada para pemain lapangan yang langsung atau tak langsung ikut menentukan. Kalau mereka bermain cantik, citra rupiah akan terangkat. Ingat, dalam hal ini, faktor sentimen juga ikut berperan. Kalau saja sikap pengusaha tak semata-mata ngotot mengemplang utang, tapi juga berinisiatif merestrukturisasi utang, nah, ini pertanda baik. Misalkan para hakim bersungguh-sungguh menegakkan supremasi hukum, ini bisa jadi sinyal bahwa keamanan berusaha mulai diutamakan. Terlebih lagi, jika Cacuk Sudarijanto, Syahril Sabirin, Kwik Kian Gie, dan Kiai Presiden Abdurrahman Wahid, dalam kinerja dan tutur kata, mati-matian membela rupiah, dunia luar pun akhirnya bisa diyakinkan bahwa kita serius mengupayakan recovery.
Tapi, kalau Gus Dur sendiri yang bermain cantik, hikmahnya untuk rupiah tidak akan signifikan. Juga mengharap agar dana US$ 2,1 triliun yang pada 14 April lari dari Wall Street lalu mampir ke emerging markets (termasuk Indonesia), itu pun seperti mengangankan hole in one. Bagaimanapun, sepanjang tahun ini kurs rupiah akan tidak mudah untuk diukur-ukur dan diduga-duga, terutama karena para pemainnya (pengusaha dan pengambil keputusan) lebih sering bertingkah secara sangat amatiran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo