INI Medan, Bung! Pemeo itu sudah lama menjadi kata-kata klise, tapi tetap cocok untuk menggambarkan situasi di Medan. Coba saja tengok peristiwa pekan lalu. Hari Senin, Kejaksaan Negeri Medan mengumumkan H. Abdillah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap yang dilakukannya pada pemilihan Wali Kota Medan, 20 Maret. Namun, esoknya, Abdillah justru dilantik sebagai Wali Kota Medan periode 2000-2005 oleh Gubernur Sumatra Utara T. Rizal Nurdin berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri.
Memang, ada kesan terburu-buru. Kejaksaan barangkali terburu-buru mengenakan status tersangka buat Abdillah tanpa sempat memeriksa kasus ini secara mendalam. Terbukti, para saksi penting—yakni anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan yang diduga menerima uang suap—belum diperiksa. Tapi Gubernur Sumatra Utara bisa juga amat terburu-buru. Baru semalam menerima SK Mendagri, ia langsung melantik wali kota esok harinya tanpa mempertimbangkan status tersangka itu.
Adakah ini pertanda komunikasi di antara pejabat daerah tidak berjalan mulus lagi? Sudah lama terdengar suara di berbagai daerah bahwa forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) sudah tidak efektif lagi. Bahkan, mulai ada usul agar forum seperti itu disahkan saja pembubarannya.
Terlepas dari masih diperlukan atau tidak forum semacam Muspida, pelantikan Wali Kota Medan ini mengundang pertanyaan. Yang mendasar adalah sejauh mana supremasi hukum ditegakkan—sesuatu yang sering diucapkan—kemudian konsistensi dalam menegakkan supremasi hukum itu dalam negara kesatuan. Jenderal Wiranto, ketika dinyatakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia "diduga terlibat" dalam pembumihangusan Timor Timur pasca-jajak pendapat, langsung dicopot oleh Presiden Abdurrahman Wahid dari kedudukannya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Padahal, Wiranto belum diperiksa dan belum dalam status tersangka. Justru alasan Gus Dur menonaktifkan Wiranto adalah agar ia bisa berkonsentrasi menghadapi pemeriksaan itu.
Kebalikannya dengan Wiranto, Abdillah yang jelas-jelas tersangka itu justru diberi jabatan. Padahal, jabatan inilah yang menjadi masalah kenapa ia menjadi tersangka. Akankah dengan begitu ia bisa berkonsentrasi menghadapi pemeriksaan dan apakah jaksa tidak merasa rikuh memeriksa seorang pejabat yang aktif?
Akan lebih baik jika sang Wali Kota segera dinonaktifkan. Bahwa ia dilantik, itu adalah keputusan politik karena berhasil memenangi pemilihan wali kota. Dan jika kemudian ia dinonaktifkan, itulah konsekuensi menegakkan hukum. Dengan proses hukum, akan jelas apakah ia terbukti memberi suap kepada anggota DPRD, khususnya kepada fraksi PDI-P. Atau, seperti yang dikatakan oleh Ketua DPRD yang berasal dari PDI-P, kasus suap itu hanyalah bohong besar, dan pengakuan adanya suap itu karena di bawah tekanan. Semuanya harus terbuka, dan orang tak bisa berdalih: ini Medan, Bung!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini