Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM puluh tahun berlalu, tujuh pemerintahan datang dan pergi, cerita tentang imigran gelap di Nunukan, Kalimantan Utara, tampaknya tidak mengenal kata selesai.
Berlangsung sejak 1960-an, di kawasan itu ribuan pencari kerja Indonesia menerobos perbatasan Malaysia dengan cara ilegal. Karena menempuh jalur haram, tak ada perlindungan kepada mereka yang kemudian menjadi buruh murah di sektor perkebunan, pembantu rumah tangga, atau pekerja seks.
Didera kemiskinan dan hasrat ingin mengubah nasib, mereka menempuh jalan yang telah jadi klise: memanfaatkan birokrasi yang bobrok dan birokrat yang mata duitan. Tanpa dokumen yang memadai, mereka membayar biaya pembuatan paspor dengan harga hingga 10 kali lipat. Kepada para agen, mereka menyetor biaya perjalanan. Di atas perahu yang menyeberangkan mereka ke "tanah harapan", korupsi terjadi. Penjaga perbatasan Indonesia pura-pura tidak tahu—tentu dengan sejumlah imbalan.Razia patroli Malaysia diselesaikan dengan salam tempel.
Pemerintah Malaysia bermuka dua. Di satu pihak melakukan razia dan memulangkan paksa buruh tanpa izin. Tak cuma dipulangkan, para buruh juga didenda dan dihukum cambuk. Di lain pihak, praktek "salam tempel" selama bertahun-tahun juga dibiarkan.
Pemerintah Indonesia idem ditto. Mereka yang tertangkap bekerja tanpa izin diminta pulang ke tempat asal dengan diberisurat jalan laksana paspor. Tapi jalur-jalur tikus tidak pernah benar-benar ditutup. Itulah sebabnya, meski setiap tahun pemerintah Malaysia mendeportasi TKI bermasalah, tak sampai lima persen yang benar-benar pulang ke kampung halaman.
TKI yang tidak pulang mencoba masuk lagi. Mereka yang tak punya duit untuk menyuap aparat, atau sakit karena didera perlakuan tak manusiawi para majikan selama bekerja, menjadi stres bahkan gila.Di Nunukan, sebagian besar pengidap sakit jiwa yang berkeliaran di jalanan adalah pekerja Indonesia yang telantar. Tanpa sanak keluarga dan perhatian dari pemerintah, mereka cuma seonggok sampah.
Pemerintah seyogianya segera mengambil tindakan. Kementerian Tenaga Kerja serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) harus mengidentifikasi kembali tenaga kerja Indonesia yang telah, sedang, dan bersiap hijrah ke negara sebelah. Agen tenaga kerja ilegal—dalam bahasa setempat kerap disebut "pengurus"—harus ditertibkan.
Dibentuk pada 2006, tugas BNP2TKI adalah mengatur penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, termasuk memberikan pelayanan, mengkoordinasi, dan melakukan pengawasan terhadap pemberangkatan dan pemulangan TKI. Apa yang terjadi di Nunukan adalah coreng nyata di wajah lembaga itu. Terhadap aparat imigrasi yang lancung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia secepatnya harus mengambil tindakan.
Ekonomi nasional selayaknya diperbaiki agar tak ada insentif bagi warga untuk hijrah ke negeri tetangga. Pembangunan di daerah-daerah tertinggal yang merupakan sumber TKI ilegal perlu diprioritaskan. Pemerintah Indonesia pun sepatutnya bekerja sama lebih erat dengan Malaysia untuk menangani perdagangan manusia di Nunukan. Keduanya tak bolehmenutup mata: seolah menolak TKI ilegal tapi sebenarnya menikmati suap dan buruh murah dari keberadaan mereka.
Lebih dari sekadar persoalan ekonomi, membiarkan penyelundupan manusiamerupakan kejahatan nyataterhadap kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo