Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDATANGAN dua kubu Partai Golkar yang sedang berseteru ke Istana Negara pekan lalu tak perlu disambut berlebihan. Kunjungan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, yang sama-sama mengklaim sebagai Ketua Umum Partai Golkar, bukanlah sinyal keunggulan Presiden Joko Widodo dalam menguasai konstelasi politik nasional. Malah, jika salah langkah, Jokowi bisa terperangkap lebih jauh dalam gurita pengaruh oligarki kekuasaan di sekitarnya.
Jika kita runut kembali ke awal, sengketa Partai Golkar bermula dari pemilihan presiden dua tahun lalu. Ketika itu, Aburizal mendukung Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menjadi calon RI-1. Setelah jagonya kalah, Partai Golkar memilih jadi kekuatan pengimbang di luar pemerintah. Bersama sejumlah partai lain pendukung Prabowo, partai beringin menjadi motor utama kelompok oposisi, Koalisi Merah Putih.
Tak mudah bagi Golkar berada di luar Istana. Sejak didirikan di awal Orde Baru, Golkar selalu berada di dalam pemerintahan. Dalam sepuluh kali pemilihan umum sejak 1971 hingga 2014, baru kali ini Golkar mendeklarasikan diri sebagai oposisi. Peran baru ini sejatinya tak dikenal dalam sel genetika partai itu. Keberadaan sejumlah elite masa lalu Golkar, seperti Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Pandjaitan, di posisi penting pemerintahan Jokowi membuat posisi partai itu kian terjepit.
Dengan memahami latar belakang ini, konflik internal antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono kini tampak bergeser menjadi adu cepat mendekati Istana. Kedua kubu agaknya menyadari kesalahan kalkulasi politik Golkar pada pemilu lalu dengan memilih koalisi yang kemudian berseberangan dengan pemerintah. Soalnya, berbeda dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang tahan menjadi oposisi selama sepuluh tahun, kader Partai Golkar tak punya militansi untuk menjadi pengimbang penguasa. Sekarang ini, untuk menyelamatkan partainya, Aburizal terlihat banting setir menyeberang ke Istana dan menyatakan dukungan kepada pemerintah.
Kini bola berada di tangan Presiden Jokowi. Dengan dukungan 91 anggota parlemen dari Partai Golkar, pemerintah memang bisa menjadi mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat. Posisi itu jelas bisa membuat pemerintah tenang bekerja tanpa harus waswas dijegal mitranya di Senayan. Tentu tak ada makan siang gratis. Dukungan Partai Golkar pasti harus dibayar dengan sejumlah konsesi politik yang tidak murah. Perombakan kabinet untuk mengakomodasi Golkar, misalnya, bisa-bisa menggerogoti modal politik Jokowi sendiri.
Bukan hanya itu. Koalisi gemuk Istana akan mengulangi praktek politik era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengalaman menunjukkan besarnya dukungan koalisi di parlemen tidak menjamin mulusnya semua agenda pemerintah di Senayan. Dikhawatirkan, yang akan terjadi justru konsolidasi oligarki kekuasaan yang potensial mencederai kepentingan publik.
Presiden Jokowi diharapkan tidak tergiur merangkul Partai Golkar dalam pemerintahannya. Bagi Presiden, keinginan merapatnya Golkar itu cukuplah menjadi momen untuk meminta komitmen lebih kuat dari partai pendukungnya. Kegaduhan politik selama tahun pertama pemerintahan Jokowi bukanlah alasan menggandeng semua partai ke dalam koalisi besar. Di era demokrasi, adu argumen di parlemen merupakan bagian dari kelaziman. Komposisi jumlah partai pendukung pemerintah dan partai oposisi yang relatif seimbang seperti sekarang justru lebih sehat untuk demokrasi negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo