Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Algojo dari Kibuye?

Dakwaan dalam pengadilan hak asasi manusia sering hanya mengandalkan saksi, bahkan mengabaikan bantahan dokumenter. Sebuah contoh dari kasus Rwanda.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI namanya mirip nama manusia, Alfred Musema adalah iblis peminum darah. Puluhan saksi mengaku melihat dia menjagal dan memimpin ratusan pembantaian dan pemerkosaan. Kecemerlangan pengacaranya, dengan mengajukan timbunan dokumen yang menyangkal kesaksian-kesaksian dramatis itu, gagal meloloskan sang terdakwa. Dua dari tiga hakim lebih percaya pada para saksi. Vonis pun jatuh: sang direktur pabrik teh itu dihukum seumur hidup.

Tapi, adakah Musema memang vampir? Benarkah ia begitu buas dalam salah satu konflik etnis terburuk dalam sejarah itu?

Ia lahir di Prefektur Byumba, Butare, 22 Agustus 1949. Pada 1968, ia dikirim ke Gemboux, Belgia, untuk kuliah di Fakultas Perkebunan Universite d’Etat. Setahun setelah lulus (1974), ia menikahi Claire Kayuku, juga asal Butare, dan beranak tiga. Meniti karir di Departemen Pertanian dan Pembiakan Ternak, Musema dikenal sebagai pekerja keras, cerdas, dan ambisius. Sebentar saja bakat ini terlihat oleh Presiden Juvenal Habrayimana. Pada 1984, sang Presiden menunjuknya menjadi Direktur Pabrik Teh Gisovu. Di tangan Musema, pabrik berumur setahun itu bagai bayi ajaib dan segera mengungguli pabrik-pabrik teh lain yang lebih tua. Para pemain di Pasar Teh London berebut mengincarnya.

Seiring sukses BUMN yang dipimpinnya, ia menjadi orang terpandang di wilayah operasi pabriknya, yang mencakup dua kabupaten, Kibuye dan Gikongoro. Ia juga anggota Dewan Prefektur Byumba, dan anggota panitia teknis di komune Butare. Semua jabatannya jauh dari politik. Alfred Musema adalah teknokrat gemilang.

Tumpas Tutsi

Pada 6 April 1994 sore, pesawat yang dinaiki Presiden Habrayimana menyembulkan roda, siap mendarat di bandara Kigali, ketika sebuah roket merobek sayap kiri mesin. Kegaduhan di kabin belum reda saat roket kedua menghantam tangki bahan bakar. Dengan gemetar, pilot terus berusaha mendaratkan pesawat yang dibungkus api itu. Begitu roda menyentuh landasan, kobaran itu menjadi dentuman dahsyat. Semua penumpang dan awak pesawat hangus menjadi serpihan.

Empat jam kemudian, kendali pemerintahan direbut oleh elemen-elemen ekstrem Hutu, suku Presiden Habrayimana. Pesawat Presiden, kata mereka, ditembak orang-orang Tutsi yang tak puas dengan kedudukan mereka sebagai warga kelas dua dalam masyarakat yang didominasi pejabat dan perwira Hutu. Kampanye besar-besaran digencarkan.

Rakyat dihasut. Senjata harus dihunus untuk menumpas total orang Tutsi! Dan seluruh pelosok Rwanda hanya perlu dua hari untuk dipenuhi oleh mayat-mayat orang Tutsi. Pemerintah baru yang dibentuk, didominasi puak Hutu, memancang tekad tunggal: menghabisi kaum Tutsi dan kaki tangan mereka.

Kaum buron berduyun mengungsi ke semak belukar dan hutan-hutan Negeri Seribu Bukit itu. Rintangan pun dipasang di jalan-jalan. Razia KTP digelar. Jika pemilik KTP itu orang Tutsi, mereka digiring ke semak-semak di pinggir jalan, tempat para algojo menanti dengan ajal di tangan.

Sepanjang April, Mei, dan Juni 1994, komune Gisovu dan Gishyita—terutama Kabupaten Kibuye, yaitu seluruh daerah kegiatan perkebunan dan pabrik teh Alfred Musema—dibanjiri gelombang-gelombang pengungsi Tutsi. Mereka tak pernah sampai ke lokasi. Para pejabat pemerintah, tentara, polisi, laskar pemuda partai berkuasa, bersama rakyat yang mengacungkan bedil, parang, tombak, dan golok, menghadang mereka.

Ribuan pengungsi Tutsi bergelimpangan. Perempuan dan anak-anak tak lolos dari siksaan, pemerkosaan, dan pembantaian. Sebuah genosida. Sebuah pesta darah. Di manakah Alfred Musema? ”Ketika keadaan tak terkendalikan,” katanya, ”saya dan keluarga pergi ke Swiss.”

Pada 11 Februari 1995, ia ditangkap di Negeri Salju itu. Tuduhan: mendalangi, dan dalam beberapa kasus bahkan melakukan sendiri, suatu kampanye genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan. Setelah dua tahun mendekam di penjara Swiss, pada 20 Juli 1997 ia dipindahkan ke rumah tahanan Pengadilan Kejahatan Internasional di Arusha, Tanzania. Empat bulan kemudian, ia menyangkal semua tuduhan jaksa.

Massa Musema

Inilah dakwaan terhadap Alfred Musema: melakukan perbuatan genosida, turut serta dalam perbuatan genosida, melakukan persekongkolan untuk melaksanakan genosida, melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pembasmian, pemerkosaan, dan tindakan-tindakan tanpa perikemanusiaan lainnya, serta pelanggaran berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan II pada konvensi-konvensi tersebut. Semua tuduhan, tanpa kecuali, didasarkan atas keterangan saksi. Tak selembar pun dokumen diajukan sebagai bukti dakwaan.

Pada 15 April 1994, Musema terlihat hadir di komune Musebaya dan Muko, mengemudikan pick-up Daihatsu yang mengangkut orang-orang bertombak dan parang. Pada 18 April 1994, Musema hadir dalam rapat di sebuah stasiun radio FM di Bukit Karongi, dan segera setelah itu memimpin dan turut serta dalam serangan terhadap kamp pengungsi Tutsi di Gitwa. Di situ ia memerintahkan agar perempuan-perempuan Tutsi diperkosa.

Saksi ”M” menceritakan, di dekat stasiun radio di Bukit Karongi itu ia bersembunyi dan melihat Musema berpakaian olahraga dan membawa senapan laras panjang; massa 150 orang yang mengikutinya membawa senjata api, parang, golok, belati, pentungan, dan kebanyakan menggunakan daun pisang dan rerumputan di kepala mereka. Alfred Musema berpidato. Ia mengajak massa untuk ”bangkit” bersama melawan musuh, etnis Tutsi, serta membebaskan negeri dari musuh-musuh itu.

Beberapa orang bertanya, apa hadiah untuk penyerangan yang mungkin membahayakan jiwa sendiri itu. Musema menjawab, itu urusan gampang. Para ”pahlawan” yang sedang menganggur akan diberi pekerjaan yang sekarang masih dipegang musuh. Yang tak punya tanah akan diberi tanah milik orang Tutsi. Bolehkah berpesta meniduri perempuan Tutsi? Boleh saja, kenapa tidak?

Alfred Musema kemudian memerintahkan seorang penjaga stasiun radio FM tadi untuk membagikan senjata api dan peluru kepada massa. Si penjaga ragu-ragu. ”Saya harus minta izin Pak Komandan dulu sebelum mengeluarkan senjata api dari gudang stasiun,” ucapnya. Musema mendelik. ”Kamu berkhianat kalau tidak menyerahkan senjata untuk membela negara,” ia membentak. ”Dan kalau komandan tahu bahwa kamu tidak mau kasih senjata, kamu pasti dihukum berat!”

Penjaga yang gemetar itu langsung mengambil dan membagikan senjata dan amunisi yang tersimpan di gudang stasiun radio tadi. Musema sendiri kebagian dua senapan Lee Enfield beserta sejumlah peluru.

Pada sekitar 20 April 1994, Alfred Musema dilihat mengangkut gerombolan bersenjata dari suatu tempat di dekat Pabrik Teh Gisovu ke Bisesero, dengan tujuan membunuh kaum Tutsi. Pada 26 April 1994, ia ikut dalam serangan besar terhadap pengungsi di Bukit Gitwa. Pada suatu hari antara 27 April dan 3 Mei 1994, ia turut dalam penyerangan terhadap pengungsi Tutsi di bukit Rwirambo dan membunuh sejumlah besar pria, perempuan, dan anak kecil.

Pada 13-14 Mei, Musema bersama gerombolan bersenjata yang dipimpinnya, termasuk karyawan pabriknya, berkendaraan mobil-mobil Daihatsu milik pabrik, membunuhi puluhan ribu pengungsi di Bukit Muyira. Salak senapan dan ayunan parang pada pembantaian ini diiringi gegap nyanyian: ”Han-cur-kan me-reeee-ka!”

Dua orang, yakni Ntambiye dan Iamuremye, ditembak sendiri oleh Musema. Kadang ia memberi contoh bagaimana cara memerkosa, misalnya pemerkosaan terhadap Nyiramusugi. Saat merobek pakaian guru yang terkenal cantik itu, sebelum menggagahinya, ia sempat berteriak, ”Hari ini, habislah kebanggaan Tutsi!”

Para pengawalnya kemudian bergilir melampiaskan berahi kepada Nyiramusugi. Pemerkosa terakhir menancapkan bayonet ke dada Bu Guru itu. Musema pernah juga minta dibawakan seorang perempuan Tutsi. Anak buahnya kemudian menyajikan Goretti Mukangoga. ”Dari dulu saya kepengen tahu, seperti apa sih isi perut perempuan Tutsi!” teriaknya, sambil menusukkan pedang ke bawah perut mangsanya. Pedang itu lalu membelah sampai ke dada Goretti.

Saksi lain bercerita bagaimana Alfred Musema menyuruh menutup mulut sebuah gua dengan kayu bakar dan kemudian menyulutnya sendiri. Hanya seorang yang selamat di antara 400 pengungsi yang bersembunyi di dalamnya. Mereka semua mati tercekik asap.

Alibi

Benarkah semua kesaksian itu? Di Arusha, ”alibi” sudah menjadi kata yang menggelikan. Semua penjahat terhadap kemanusiaan, semua pelaku genosida dan setiap pemerkosa serta penyiksa selalu punya ”alibi”. Tapi Alfred Musema memang punya alibi. Pada semua tanggal kejadian yang disebut para saksi, Musema mengajukan bukti-bukti tertulis bahwa ia berada di tempat lain.

Bukti-bukti itu berbentuk surat jalan yang semuanya dicap oleh pejabat yang mengonfirmasi kehadirannya di tempat tujuan. Surat perintah yang ditandatangani oleh atasannya, bahkan oleh menteri kabinet, juga diajukan. Tim pembela Musema yang cemerlang masih pula melengkapinya dengan mengajukan para saksi hidup dan bon-bon pengeluaran Musema ketika ia berada di tempat-tempat lain tersebut. Selama persidangan, ia tampil sebagai orang yang berpendidikan, seorang santun dan tenang yang berpikiran jernih. Ia agaknya menduga arah pertanyaan jaksa. ”Mohon jangan jerumuskan saya untuk mengakui hal-hal yang tidak saya lakukan,” katanya beberapa kali sambil tersenyum ramah.

Memang ada beberapa hal yang mengganjal hati para hakim. Terlalu banyak pertemuan Musema dengan berbagai pejabat tinggi yang terjadi secara kebetulan. Cap surat perintah yang berbeda dengan kepala surat pun dipersoalkan oleh jaksa. Tapi, semua itu dapat dijelaskan sebagai akibat kekalutan pemerintahan dan kehidupan yang sedang melanda seluruh negeri.

Tidak ada satu pun tuduhan, yang semuanya dilancarkan hanya berdasar keterangan saksi, yang tak dihadapi dengan bukti/lawan tertulis—ditambah pula dengan saksi-saksi yang mengonfirmasi alibi sebagaimana tercantum dalam dokumen yang diajukan ke meja majelis hakim.

Vonis

Seluruh rangkaian persidangan itu berakhir pada 27 Januari 2000, dengan vonis: Musema dihukum penjara seumur hidup. Arusha gempar. Hal semacam ini belum pernah terjadi. Hakim ketua, berasal dari negara bersistem hukum kontinental, berkeras mengeluarkan pendapat yang menyimpang dari putusan dua hakim lain, yang kebetulan berasal dari negara-negara penganut common law, yaitu sistem hukum Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan Kanada.

Berlawanan dengan hakim ketua Lennart Aspegren, hakim anggota Navanethem Pillay mengeluarkan opini yang juga menyimpang dari pendapat mahkamah. Ia justru berpendapat bahwa mahkamah terlalu keras menguji pembuktian kesalahan terdakwa. Para ahli hukum pada umumnya mempersoalkan kesulitan berat yang dihadapi oleh setiap pengadilan yang mau memaksakan penggabungan dua sistem hukum berbeda, yaitu sistem Eropa kontinental dan sistem Inggris. Lawyer’s Committee for Human Rights, berbasis di New York, termasuk yang berpendapat demikian.

Kecewalah Steven Kay, Queen’s counsel yang dikagumi semua pihak sebagai pengacara Musema yang brilian dan berintegritas tinggi. Dengan gaya khas ”Inggris” yang tenang dan sopan, ia mengeluh dengan tersenyum. ”Ada sedikit ketidakseimbangan dalam kewajiban pembuktian oleh pembela dan oleh jaksa,” ujarnya. ”Kalau bukti tertulis sudah dikonfirmasi secara tertulis oleh pihak lain, lalu dikonfirmasi lagi oleh saksi hidup secara lisan, apa lagi yang diminta?”

J. Coll Metcalfe dari Internews Network melaporkan dari sidang pengadilan bahwa pengacara Steven Kay memulai persidangan dengan yakin penuh bahwa kliennya bersih. Ia memasuki ruang sidang dengan ratusan lembar bukti tertulis, termasuk visa, surat jalan, kuitansi, dan surat-surat bertanggal yang dalam banyak hal menangkis langsung tuduhan-tuduhan para saksi.

Kay, menurut Metcalfe, mengajukan tiga jurus serangan: para jaksa gagal membuktikan kesalahan Musema, mereka kehabisan bukti untuk menetapkan kesalahan Musema, dan akhirnya, alibi yang diajukan kliennya tidak pernah disanggah secara meyakinkan.

Satu perkara, tiga hakim. Dua di antaranya mengeluarkan opini yang tidak hanya menyimpang dari pendapat mahkamah, tapi juga saling bertentangan. Ini sangat mencemaskan kalangan hukum. Cara mencicil yang ditempuh mahkamah dalam menangani perkara juga amat membingungkan para ahli hukum.

Adakah Alfred Musema iblis ganas? Iblis atau eksekutif inosen, nasibnya kemudian bagai daun teh yang mengering di pabriknya.

Nono Anwar Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus