Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang Dunia II berakhir. Jerman kalah. AS, Inggris, Prancis, dan Uni Soviet menang. Pemenang perang berkumpul dan berunding tentang cara menghukum orang Jerman yang dianggap bertanggung jawab atas perang, kekejaman, dan kehancuran yang telah melanda Eropa. Pada 8 Agustus 1945 perundingan mereka menghasilkan Perjanjian London. Mereka bertekad mengadili para penjahat perang. Dalam perjanjian itu dilampirkan Charter yang melahirkan dan mengatur Pengadilan Pidana Perang di Neurenberg, kota terbesar kedua di Negara Bagian Bavaria.
Pemilihan atas Neurenberg itu bermakna sangat simbolis. Di situlah Hitler mengadakan rapat-rapat raksasanya. Di situ pula dibuat Undang-Undang Neurenberg yang mengeluarkan orang Yahudi dari kewarganegaraan Jerman, dan yang melarang orang Jerman mengawini orang Yahudi.
Dalam Charter Perjanjian London ada tiga pasal yang untuk pertama kalinya mendefinisikan ”kejahatan perang”, ”kejahatan terhadap kemanusiaan”, dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Dokumen itu didukung oleh Konvensi PBB (1948) dan Konvensi Jenewa. Dokumen-dokumen ini sebenarnya merupakan rincian dari dokumen klasik sejarah kemanusiaan: The Ten Commandments, Sepuluh Perintah Tuhan kepada Nabi Musa. Dokumen-dokumen itu membicarakan beberapa istilah sentral seperti apa itu genosida.
Seperti diketahui, seorang hakim di suatu pengadilan negeri di Madrid, Spanyol, pada 1997 menambah satu kategori pada definisi hukum internasional ini, yaitu ”golongan politik”. Dengan demikian, kalau di suatu negara berdaulat ada golongan yang ingin merdeka, dan pemerintah negara itu memerintahkan kepada angkatan bersenjatanya untuk membasmi mereka yang ingin merdeka itu, ini dapat dimasukkan dalam definisi ”genosida”.
Menurut Steiner dan Alston (dalam International Human Rights in Context), esensi genosida bukan kehancuran suatu kelompok, melainkan niat atau maksud untuk menghancurkan kelompok tersebut. Jadi, kalau ada satu kelompok yang hancur karena perbuatan yang tidak bermaksud menghancurkan, perbuatan itu tidak dianggap genosida. Tapi pembunuhan satu orang saja dapat dikategorikan tindakan genosida bila ia merupakan bagian dari serangkaian perbuatan yang dirancang untuk mencapai kehancuran golongan orang yang dibunuh itu. Genosida bisa dilakukan pada waktu perang maupun masa damai.
Dokumen juga membicarakan siapa yang bertanggung jawab. Dalam Piagam Neurenberg, misalnya, disebutkan bahwa tindak kejahatan dipertanggungjawabkan secara pribadi. Istilah ”pribadi” ini sering disalahtafsirkan, seolah hanya orang yang melakukannya yang akan dituntut. Tafsiran yang tepat, yang dikejar bukan negaranya, melainkan pribadi warganegaranya—ini memang menyimpang dari kaidah hukum publik internasional.
Semua kejahatan tersebut berunsur ”aktif” dan ”pasif”. Artinya, seseorang dapat melakukannya sendiri, tapi dapat juga lalai mencegah atau menghukum pelakunya. Kejahatan ”pasif” ini berasumsi bahwa yang lalai mencegah dan menghukum itu adalah seseorang yang mempunyai kewenangan terhadap perbuatan-perbuatan yang diharapkan oleh hukum pidana internasional.
Ada dua istilah lagi, seperti istilah ”pribadi” dalam hukum pidana internasional, yang sering digunakan tapi lebih sering lagi tidak dimengerti atau bahkan ditafsirkan salah, yaitu ”sistematis” dan ”konspirasi”. Yang dimaksud ”sistematis”, kejahatan itu sudah menjadi kebijakan (policy) pemerintah atau pejabat yang melakukannya. Tindakan sporadis, seketika, dan emosional bukanlah perbuatan ”sistematis”.
Istilah ”konspirasi” atau persekongkolan bukan semata-mata pertemuan rahasia lima orang untuk melakukan suatu tindakan rahasia. ”Konspirasi” mengandung makna perencanaan, atau persiapan, atau membantu atau membiarkan adanya perencanaan dan persiapan untuk melakukan kejahatan internasional.
Piagam Neurenberg
Definisi kejahatan yang dikutuk di Pengadilan Penjahat Perang Neurenberg pada dasarnya adalah rincian lebih lanjut dari The Ten Commandments, Sepuluh Perintah Tuhan kepada Nabi Musa.
”Kejahatan Perang” dirumuskan sebagai ”pelanggaran hukum ataupun kebiasaan perang”. Pelanggaran semacam itu termasuk—tapi tidak terbatas pada—pembunuhan, perlakuan buruk atau pengungsian-paksa untuk tujuan kerja paksa atau tujuan lain atas penduduk sipil dari atau di wilayah pendudukan, pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tahanan perang atau orang di lepas pantai, pembunuhan sandera, penjarahan atas hak milik pribadi atau umum, penghancuran kota atau desa secara berlebihan, atau penghanculeburan yang tidak perlu dilakukan ditinjau dari segi militer.
”Kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah ”pembunuhan, pembasmian, pembudakan, pengungsian-paksa, dan tindakan tanpa perikemanusiaan lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil di mana pun, sebelum dan selama perang, atau penganiayaan atas alasan politik, rasial, atau agama dalam melaksanakan atau sehubungan dengan suatu perbuatan kejahatan di dalam wilayah tribunal, tanpa peduli apakah perbuatan itu merupakan suatu pelanggaran atau tidak terhadap hukum dalam negeri tempat perbuatan itu dilakukan.”
Pemimpin, organisator, penganjur, atau peserta dalam perumusan atau pelaksanaan suatu rencana umum atau persepakatan rahasia untuk melakukan suatu kejahatan itu bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh siapa pun dalam melaksanakan rencana tersebut.
Jabatan resmi terdakwa, apakah sebagai kepala negara atau pejabat yang bertanggung jawab dalam departemen pemerintahan, tidak dianggap membebaskan mereka dari tanggung jawab atau mengurangi hukuman. Dan fakta bahwa terdakwa bertindak atas dasar perintah pemerintahnya atau seorang atasan tidak akan membebaskannya dari tanggung jawab, tetapi dapat dipertimbangkan untuk mengurangi hukumannya jika tribunal menganggap bahwa hal itu adil.
Konvensi PBB
Sidang Umum PBB pada 1948 menyetujui Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman atas Kejahatan Genosida. Dalam Pasal 2 Konvensi tersebut istilah ”genosida” dirumuskan begini: ”Salah satu tindakan berikut ini, dengan niat untuk menghancurkan—secara keseluruhan atau sebagian—suatu golongan nasional, etnik, rasial, atau agama, seperti:
- membunuh anggota golongan;
- mengakibatkan cedera fisik atau mental terhadap anggota golongan;
- memaksa golongan tersebut untuk hidup dalam keadaan yang sudah diperhitungkan akan menyebabkan kehancurannya secara fisik;
- memaksakan kebijakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di kalangan golongan termaksud;
- secara paksa merebut anak-anak dari golongan tersebut dan mengalihkan mereka ke golongan lain.
Konvensi Jenewa
Ada satu Konvensi dan Protokol yang perlu diperhatikan, yaitu Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang Sipil dalam Keadaan Perang. Ia antara lain menetapkan hal-hal ini sebagai pelanggaran berat:
- pembunuhan yang disengaja
- penyiksaan atau memberi perlakuan tanpa perikemanusiaan
- dengan sengaja menyebabkan penderitaan atau cedera berat pada badan atau kesehatan
- penghancurleburan dan penjarahan yang meluas yang tidak dibenarkan dan tidak perlu bila ditinjau dari segi militer dan dilakukan secara melawan hukum dan kejam
- deportasi secara melawan hukum atau pemindahan atau penahanan yang melawan hukum terhadap orang sipil pada saat perang.
Protokol Pertama pada Konvensi Jenewa, Protokol yang Berkaitan dengan Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata Internasional, mulai berlaku pada 1978. Protokol ini menambahkan pelang garan berat dengan:
- memasang penduduk sipil sebagai sasaran penyerangan
- melancarkan serangan secara membabibuta yang berdampak pada penduduk sipil dengan kesadaran bahwa penyerangan semacam itu akan mengakibatkan terlalu banyak kematian atau cedera pada kaum sipil
- pemindahan sebagian dari penduduk sipil negara asal tentara pendudukan ke wilayah yang didudukinya
- deportasi semua atau sebagian penduduk sipil wilayah yang diduduki; dan
- praktek diskriminasi rasial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo