Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mau Bukti Apa?

Proses peradilan pidana internasional cukup rumit. Bukti pun bermacam-macam. Kebenaran memang acap tak sederhana.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap pengadilan pidana internasional bersifat ad hoc. Itu sebabnya ia disebut tribunal, bukan court. Setiap kali harus disusun suatu statute, semacam anggaran dasar untuk pengadilan. Selain ”anggaran dasar”, ada juga ”aturan” yang memuat ketentuan beracara, disebut Rules. Dalam aturan itu yang menarik adalah bagian cara menilai kekuatan suatu bukti. Setelah heboh putusan pengadilan kasus Alfred Musema, independensi pengadilan makin mendesak untuk dinilai. Ini tampak paling jelas dalam Rules yang disusun khusus untuk International Criminal Tribunal for Ruanda (ICTR).

Dalam bahasa Inggris ada dua kata untuk ”bukti”, yaitu evidence dan proof. Fungsi evidence adalah memperkuat dan membawa argumen ke tujuan proof. Maka, satu atau dua evidence belum tentu cukup untuk membentuk proof. Untuk evidence dan proof, dalam bahasa Indonesia hanya ada satu kata: ”bukti”. Kurang tepat bila evidence diterjemahkan sebagai ”bukti awal”. Sebab, pada saat tertentu, satu saja tambahan evidence sudah bisa mengakibatkan perubahan kualitatif dalam upaya pembuktian.

Untuk diterima dalam sidang pengadilan, evidence dalam bentuk apa pun harus tunduk pada tiga syarat. Pertama, ”relevan”, harus punya kaitan cukup penting dengan kasus yang sedang diadili. Kedua, harus memiliki kadar kekuatan pembuktian yang cukup tinggi (probative value). Ketiga, ”dapat diandalkan” (reliability). Relevansi dan kekuatan daya bukti suatu evidence ditentukan oleh reliability-nya. Setelah tiga syarat ini terpenuhi, barulah suatu evidence dapat diterima dalam pengadilan.

Kuasanya Hakim

Besarnya keadilan biasanya ditentukan oleh besar-kecilnya kekuasaan hakim menafsirkan suatu aturan. Makin besar kekuasaannya, kian kecil keadilan yang bisa diperoleh. Contohnya dalam penentuan kadar kekuatan pembuktian suatu evidence.

Koroborasi atau ”penguatan” merupakan faktor penting dalam menilai kadar kekuatan pembuktian suatu evidence, terutama jika hanya ada seorang saksi yang mendukung dakwaan. Tapi ICTR Rule 89 on Procedure and Evidence, yang pada hakikatnya merupakan aturan tribunal beracara, menetapkan bahwa evidence yang kadar kekuatan pembuktiannya cukup besar dapat diterima bila ia memenuhi syarat berlangsungnya peradilan yang adil. Jadi, para hakim dapat memutus atas dasar testimoni tunggal kalau mereka berpendapat testimoni itu relevan dan dapat dipercaya.

Kekuasaan hakim untuk memutus berdasar kesaksian, dan evidence lain, sama sekali tidak terikat pada peraturan penguatan. Kekuasaan itu diperoleh berdasar kewenangan kolektif para hakim untuk menilai apakah suatu evidence yang diajukan kepada mereka punya kekuatan pembuktian atau tidak.

Biasanya, evidence yang tak ada hubungannya dengan salah satu tuduhan dalam surat dakwaan tidak diterima oleh pengadilan. Namun, kalau terdapat tuduhan ”konspirasi untuk melakukan genosida” dalam surat dakwaan, evidence semacam itu dapat diterima. Evidence ini mungkin bisa menetapkan ada atau tidaknya suatu konspirasi atau turut sertanya terdakwa dalam konspirasi yang tercantum dalam surat dakwaan.

Evidence yang bersifat ”dengar dari orang lain” tidak ditolak begitu saja, meski tak dapat dilacak ke sumbernya, atau tidak diperkuat oleh evidence langsung. Evidence semacam itu akan ditimbang oleh pengadilan secara hati-hati, sesuai dengan Rule 89—diuji menurut syarat relevansi, kekuatan pembuktian, dan keandalan.

Bukti Dokumenter

Sebuah dokumen baru dapat diterima sebagai evidence bila pihak yang mengajukannya berhasil membuktikan bahwa dokumen itu memenuhi syarat relevansi dan kadar kekuatan pembuktian.

Beban pembuktian keandalan suatu evidence dokumenter sudah tentu tidak seberat beban pembuktian dalam perkara pokok yang sedang diadili. Yang penting, evidence tertulis itu harus sedikit relevan dan punya sedikit kekuatan kadar pembuktian. Diterimanya suatu evidence tidak berarti bahwa ia dapat dipercaya, melainkan sekadar bisa diandalkan.

Selain keotentikan suatu dokumen, yang juga penting dalam penentuan kadar pembuktian adalah sumber dokumen itu. Sumber independen, artinya dokumen itu tidak dibuat oleh pihak terdakwa, mempunyai daya pembuktian lebih kuat ketimbang dokumen dari pihak terdakwa sendiri.

Yang penting bagi penentuan kredibilitas dan keandalan suatu dokumen adalah keotentikan dan isi dokumen itu. Pengadilan diberi wewenang oleh Rule 89(D) untuk meminta verifikasi keotentikan suatu dokumen yang didapat dari luar pengadilan. Dalam menentukan keotentikan, pengadilan antara lain mempertimbangkan bentuk, isi, dan tujuan penggunaan dokumen, serta posisi para pihak sebagaimana terpapar dalam dokumen itu.

”Bentuk” meliputi: apakah suatu dokumen adalah asli atau sekadar salinan; apakah ia, meski sekadar salinan, terdaftar atau dibubuhi cap suatu instansi resmi; apakah ia ditandatangani, dicap, dan dilegalisasi; apakah ia ditandatangani oleh pihak yang mengeluarkannya, membuatnya, atau memberi kuasa untuk membuatnya.

Nilai kekuatan pembuktian isi suatu dokumen ditentukan oleh pengadilan dengan memperhatikan seluruh faktor dalam perkara yang sedang diadili, termasuk kesaksian lisan di muka hakim tentang isi dokumen itu. Nilai pembuktian tak bisa ditentukan berdasar satu faktor saja. Semua faktor yang relevan harus turut diperhitungkan.

Kesangsian akan nilai bukti suatu dokumen, dalam banyak hal, dapat timbul bukan berdasar bentuk dan isi dokumen itu sendiri, tapi berdasar ketidakcocokan dokumen dengan kesaksian lisan di pengadilan. Dalam menilai kekuatan pembuktian suatu dokumen, pengadilan membedakan dokumen yang bentuk, isi, dan tujuan penggunaannya didukung oleh evidence sekunder, terutama kesaksian, dengan dokumen yang tidak punya dukungan sekunder.

Untuk tujuan penafsiran, pengadilan boleh menerima evidence dari luar. Dengan demikian, kesaksian lisan, atau alat pembuktian lain yang independen, dapat dipakai untuk menguatkan evidence tertulis.

Kesaksian

Sementara sikap pengadilan terhadap dokumen atau bukti tertulis bersifat umum dan keras, tidak demikian dengan sikapnya terhadap kesaksian lisan. Adanya pertentangan suatu kesaksian di bawah sumpah dengan kesaksian di bawah sumpah dalam kasus lain, dengan pernyataan di luar pengadilan, dan bahkan dengan wawancara, diteliti kasus per kasus. Pengadilan akan menilai pertentangan semacam itu, dan mendengarkan penjelasan saksi tentang mengapa ada kontradiksi antara apa yang dikatakan sekarang dan dulu. Diperiksa juga penting atau sepelenya bagian-bagian yang bertentangan tersebut.

Tuduhan tentang adanya kesaksian palsu harus diajukan ke pengadilan dengan suatu mosi sesuai dengan Rule 91(B). Beban pembuktian tentang kepalsuan itu ada di pihak penuduh. Syarat-syaratnya? Kepalsuan pernyataan seorang saksi harus dibuktikan: bahwa pernyataan si saksi dibuat dengan niat buruk atau dibuat oleh seorang saksi yang sadar sepenuhnya, baik tentang kepalsuannya maupun kemungkinan pengaruhnya pada keputusan hakim. Sekadar menimbulkan kesangsian akan pernyataan yang dibuat oleh seorang saksi tidaklah cukup.

Pernyataan yang tidak benar tak dengan sendirinya merupakan kesaksian palsu; harus ada elemen kesengajaan yang jahat dalam suatu kesaksian palsu. Ada perbedaan penting antara kesaksian yang tidak dapat dipercaya dan kesaksian palsu.

Pengertian penuh pengadilan akan nasib malang yang telah menimpa para saksi dengan jelas tampak pada pertimbangan para hakim atas trauma yang mereka alami, kesulitan batin dalam menceritakan kembali peristiwa yang terus-menerus merupakan sumber kepedihan bagi seorang saksi yang pasti mempengaruhi kemampuan mereka untuk secara penuh dan memadai menuturkan lagi peristiwa-peristiwa yang relevan dalam konteks suatu pengadilan.

Cedera batin akibat stres yang menghinggapi beberapa saksi, latar belakang mereka dan sifat kekejian yang telah menimpa mereka, menjadi pertimbangan pengadilan dalam menilai kesaksian di pengadilan.

Saksi dan Alibi

Rule 67(A) menetapkan, sebelum sidang pengadilan dimulai, penuntut wajib memberi tahu pembela tentang bukti yang diperolehnya, saksi yang akan diajukannya, baik untuk membuktikan kesalahan terdakwa maupun guna menangkis alibinya. Pembela pun harus memberi tahu penuntut segala sesuatu tentang pembelaan, saksi lawan, dan alibi yang akan diajukan untuk membebaskan terdakwa.

Beban kewajiban pemberitahuan oleh pembela lebih berat. Dalam pemberitahuan pembela kepada penuntut tentang alibi yang akan digunakan, tim pembela harus merinci tempat beradanya terdakwa saat ia dituduh melakukan kejahatan. Juga nama dan alamat para saksi, dan evidence lain yang akan diandalkan oleh terdakwa dalam mempertahankan alibinya.

Kalau pembela lalai memberitahukan semua ini, Rule 67(B) menetapkan bahwa kelalaian itu tidak akan membatasi hak terdakwa untuk mengandalkan pembelaannya pada alibi. Meski Rules menetapkan demikian, pengadilan boleh saja menyatakan bahwa kelalaian akan diperhitungkan dalam mencapai pernilaian pengadilan terhadap mutu pembelaan.

Cukup rumit. Menguras waktu, ikhtiar, dan pikiran. Kebenaran memang tak pernah sederhana. Namun, adakah segenap ketaksederhanaan itu harus membuat kita letih mengupayakan pencapaiannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus