BANG Ali seorang pemimpin yang berhasil. Namun yang lebih
penting ialah: Bang Ali seorang pejabat yang jujur. Bukan hanya
karena tidak korup. Melainkan karena Bang Ali berani mengakui,
bahwa pola pembangunan yang diikutinya adalah pola Bung Karno.
Contoh seorang pemimpin yang tidak munafik, tidak menjilat ke
atas dan tidak menekan ke bawah, terbuka, bicara apa adanya.
Banyak orang pada waktu ini kurang punya kesanggupan dan kurang
keberanian untuk mengakui prestasi Bung Karno. Misalnya saja,
selagi orang pada waktu sekarang merasa diri sebagai orang
Indonesia yang punya harga, orang lupa bahwa Bung Karnolah yang
dulu menyadarkan kita agar kita punya perasaan itu. Sumpah
Pemuda sudah ada sejak 1928. Tapi realisasi dan penjiwaannya
secara masal baru terjadi setelah Bung Karno membangun semangat
nasionalisme yang kuat dari kita semua yang berasal dari Sabang
sampai Merauke.
Rasa kebangsaan ini secara tidak sadar telah meresap di jiwa
kita. Bagi orang yang sering berhubungan dengan orang asing, apa
pun tugasnya, rasa ini timbul secara reflektif. Pada rakyat
kecil yang sehari-harinya sibuk mencari nafkah dan tidak
menghiraukan soal-soal politik, seperti tukang becak, sopir
oplet, para pedagang kecil di pasar, rasa ini sering menimbulkan
kerinduannya kepada Bung Karno sendiri. Kita saksikan sewaktu
masa kampanye ybl pengharapnn agar Guntur tampil ke mimbar,
walaupun mereka tahu bahwa Guntur tidak sehebat ayahnya.
Seyogyanyalah kita mulai bersikap jujur dengan tidak
menyembunyikan sejarah yang sebenarnya. Menurut Th. Sumartana
(TEMPO 18 Juni 1977), untuk meneguhkan kekuasaan, orang sering
membunuh orang yang sudah mati. Padahal orang mati sepenuhnya
menjadi wewenang Tuhan. Dendam terhadap orang mati adalah
gugatan terhadap kedaulatan Tuhan. Ataukah ini sikap munafik
orang Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis, dan mungkin juga
dihayatinya sendiri, untuk melampiaskan sakit hati?
Kecuali kalau sejarah memang harus diubah, kata Catatan Pinggir
TEMPO yang sama. Tapi mengubah sejarah adalah tindakan kolonial,
seperti yang dilakukan oleh penjajah Belanda dulu kepada kami,
generasi zaman kolonial. Kepada kami diajarkan, misalnya, bahwa
Pangeran Diponegoro seorang opstandeling, seorang pemberontak.
Diponegoro dikatakan sebagai orang yang "sangat ambisius" dan
"iri hati," karena yang diangkat Belanda (VOC) sebagai Raja Jawa
bukannya dia melainkan sepupunya.
Zaman berubah, dan sejarah telah dikembalikan pada ril yang
semestinya. Pada waktu ini Bang Ali sedang menjadi pusat
perhatian orang. Kepada kaum remaja saya anjurkan: harap dicatat
mulai sekarang, bahwa Bang Alilah yang berhasil membangun
Jakarta. Jangan nanti, bila tiba saatnya kalian memegang tampuk
pimpinan, sejarah lalu diubah: dikatakan bahwa yang membangun
kota Jakarta bukan siapa-siapa, melainkan rakyat Jakarta
semuanya. Partisipasi rakyat pasti ada. Partisipasi
pembantupembantu terdekat Bang Ali juga ada. Bahkan partisipasi
pendahulu-pendahulu Bang Ali pun ada. Tapi yang berhak mendapat
predikat sebagai Pembangun Kota Metropolitan Jakarta hanyalah
Bang Ali.
Tentang adanya 2 orang pemuda warga negara biasa, yang
mencalonkan Bang Ali dalam pemilihan presiden dan wakil presiden
yad, jangan materinya itu sendiri yang dilihat. Di kala kita
hampir terjerumus lagi dalam kultur politik yang feodal, suara
yang demikian patut kita hargai.
Ir. NY. RAHAYU YUSUF
PO Box 74 KBT,
Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini