Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bursa komoditi: erosi nasionalisme

Pola usaha kapitalistis bertentangan dengan uud 1945. dilakukan wakil rakyat yang seharusnya mempertahankan sistem ekonomi indonesia. modal seharusnya dibina, bukan disalurkan ke negeri asing.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG ngawur itu ada-ada saja. "Perdagangan komoditi dengan penyerahan kemudian bukanlah judi, tapi usaha spekulasi yang tidak dapat diperhitungkan rugi atau labanya di saat permulaan," katanya. Apa iya? Pendapat kita yang awam: 'Jas buka, iket blangkon. Sama juga, sami mawon.' Saya tidak bermaksud mempersoalkan kenapa Departemen Perdagangan lama termangu-mangu. Setelah bubar baru panik, bak orang bloon kebakaran jenggot. Sungguh mustahil. Saya di sini ingin mengomentari apa yang sangat patut disesalkan tentang kasus bursa komoditi. Di antara mereka yang terlibat, terdapatlah tokoh 'wakil rakyat' yang terhormat: J. Naro SH. Pendeknya karena dia seorang tokoh. Saat ini sedang hangat-hangatnya diprihatinkan: pembangunan ekonomi yang seharusnya berorientasi pada Kerakyatan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, dalam praktek tidak terjadi. Pola dan sistim yang ada ternyata kapitalistis dan tidak dapat dikontrol secara demokratis. Lantas apa yang terjadi? Wakil ketua lembaga subyek demokrasi ternyata turut bersuka-ria melakukan permainan kartu yang sedang diprihatinkan. Poin kedua. Dengan alasan langkanya modal, demi pembangunan, modal asing diharap dengan hormat sudilah kiranya ditanam di bumi Indonesia. Batas sampai berapa masih bisa ditolerir, tidak tahulah awak. Yang jelas, seharusnyalah modal dalam negeri ditanam di bumi sendiri semaksimal mungkin. Tapi, apa lacur? Moda, awak dikirim ke Jepang dan sebaliknya modal Jepang dengan berlinang air mata kita persilakan ditanam di sini. Betapa afdolnya, seandainya modal dalam negeri yang bermilyarmilyar rupiah itu ditanam sekaligus untuk menanggulangi masalah langkanya lowongan pekerjaan dan berlimpahnya tenaga-kerja yang masih luntang-lantung. Tidak masuk akal bila kedua hal di atas tidak terfikirkan oleh Naro dan kawan-kawan. Sebabnya tidak sulit untuk ditebak. Demi materi, moril mereka telah mengalami erosi nasionalisme. Di sinilah kita disodori kenyataan bahwa erosi nasionalisme relatif lebih banyak pada generasi tua tinimbang generasi muda. Banyak contoh dapat kita ambil. Dan harus diingat, bahwa erosi nasionalisme berbanding lurus dengan erosi Pancasila. Makanya, selaku warganegara, dengan imi kami menuntut: bila terdapat oknum-oknum di lembaga negara (legislatif, eksekutif maupun yudikatif) yang dikarenakan materi atau lainnya lantas mengalami erosi nasionalisme, turunkan saja dari panggung. Kita harus secepat mungkin menurunkan layar panggung yang memainkan drama tragedi suatu bangsa. Bangsa yang pernah memiliki rasa kebanggaan nasional sangat tini. SOEN'AN HADI POERNOMO Akademi Usaha Perikanan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus