ORANG ngawur itu ada-ada saja. "Perdagangan komoditi dengan
penyerahan kemudian bukanlah judi, tapi usaha spekulasi yang
tidak dapat diperhitungkan rugi atau labanya di saat permulaan,"
katanya. Apa iya? Pendapat kita yang awam: 'Jas buka, iket
blangkon. Sama juga, sami mawon.'
Saya tidak bermaksud mempersoalkan kenapa Departemen Perdagangan
lama termangu-mangu. Setelah bubar baru panik, bak orang bloon
kebakaran jenggot. Sungguh mustahil. Saya di sini ingin
mengomentari apa yang sangat patut disesalkan tentang kasus
bursa komoditi. Di antara mereka yang terlibat, terdapatlah
tokoh 'wakil rakyat' yang terhormat: J. Naro SH. Pendeknya
karena dia seorang tokoh.
Saat ini sedang hangat-hangatnya diprihatinkan: pembangunan
ekonomi yang seharusnya berorientasi pada Kerakyatan sesuai
dengan pasal 33 UUD 1945, dalam praktek tidak terjadi. Pola dan
sistim yang ada ternyata kapitalistis dan tidak dapat dikontrol
secara demokratis. Lantas apa yang terjadi? Wakil ketua lembaga
subyek demokrasi ternyata turut bersuka-ria melakukan permainan
kartu yang sedang diprihatinkan.
Poin kedua. Dengan alasan langkanya modal, demi pembangunan,
modal asing diharap dengan hormat sudilah kiranya ditanam di
bumi Indonesia. Batas sampai berapa masih bisa ditolerir, tidak
tahulah awak. Yang jelas, seharusnyalah modal dalam negeri
ditanam di bumi sendiri semaksimal mungkin. Tapi, apa lacur?
Moda, awak dikirim ke Jepang dan sebaliknya modal Jepang dengan
berlinang air mata kita persilakan ditanam di sini. Betapa
afdolnya, seandainya modal dalam negeri yang bermilyarmilyar
rupiah itu ditanam sekaligus untuk menanggulangi masalah
langkanya lowongan pekerjaan dan berlimpahnya tenaga-kerja yang
masih luntang-lantung.
Tidak masuk akal bila kedua hal di atas tidak terfikirkan oleh
Naro dan kawan-kawan. Sebabnya tidak sulit untuk ditebak. Demi
materi, moril mereka telah mengalami erosi nasionalisme. Di
sinilah kita disodori kenyataan bahwa erosi nasionalisme relatif
lebih banyak pada generasi tua tinimbang generasi muda. Banyak
contoh dapat kita ambil. Dan harus diingat, bahwa erosi
nasionalisme berbanding lurus dengan erosi Pancasila.
Makanya, selaku warganegara, dengan imi kami menuntut: bila
terdapat oknum-oknum di lembaga negara (legislatif, eksekutif
maupun yudikatif) yang dikarenakan materi atau lainnya lantas
mengalami erosi nasionalisme, turunkan saja dari panggung. Kita
harus secepat mungkin menurunkan layar panggung yang memainkan
drama tragedi suatu bangsa. Bangsa yang pernah memiliki rasa
kebanggaan nasional sangat tini.
SOEN'AN HADI POERNOMO
Akademi Usaha Perikanan,
Pasar Minggu,
Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini