APAPUN itu yang mau kita namakan, satu pekerjaan telah usai pada
tanggal 2 Mei 1977, yang telah menelan sekian banyak uang
rakyat. Maka kini sudah tiba saatnya Pemilu di masa yang akan
datang dijalankan secara lebih sempurna.
Gagasan 'sistim distrik,' yang pernah diusulkan untuk Pemilu
1971 dan Pemilu 1977, belum berhasil digolkan dalam forum
legislatif kita. Penulis sebagai salah satu yang turut
memperjuangkan gagasan tersebut bersama 'independent group' di
tahun-tahun 1969-1970, merasa sangat prihatin melihat
pelaksanaan Pemilu 1971 dan Pemilu 1977 yang lalu. Pengorbanan
demokrasi telah cukup lama kita berikan. Selama ini kita selalu
bersikap kompromi dan toleran terhadap
keganjilan-keganjilan/ketidak wajaran di republik ini.
Tekad kita kini adalah memenangkan gagasan 'sistim distrik'
tersebut, di mana tidak ada anggota DPR yang diangkat/ ditunjuk.
Mari kita ambil analisa sederhana dari Pemilu 1971 & 1977. Bila
1 (satu) anggota DPR untuk daerah tingkat I mewakili 400.000
suara, maka 100 anggota DPR yang diangkat/ditunjuk adalah
identik dengan 40.000.000 (empat puluh juta) suara! Sungguh luar
biasa. Apa dasarnya bahwa yang seratus orang itu dikatakan
utusan dari Golongan Karya, bila Golongan Karya sendiri telah
diwakili (sebagai peserta) dalam Pemilu? Apa dasarnya dari yang
100 orang itu dibuat perbandingan 3 untuk ABRI dan 1 untuk
sipil?
Sudah sepatutnyalah semua anggota DPR dipilih melalui pemilihan
langsung oleh rakyat -- di mana pemilih tidak lagi memilih tanda
gambar, tetapi memilih kandidatnya (orangnya). Sistim distrik
akan memungkinkan tokoh daerah tampil ke muka (berperanan)
sebagai pemimpin membangun daerahnya. Karena sesungguhnya orang
daerahlah yang lebih mengenal dan dikenal daerahnya.
Mungkin suatu waktu nanti, sebagai penyempurnaan pelaksanaan
sistim distrik tersebut, para gubernur dan walikota tidak lagi
ditunjuk/diangkat. Tetapi dipilih langsung oleh rakyat di daerah
masing-masing.
Sesungguhnyalah demokrasi bukan milik rakyat Amerika Serikat
saja. Tapi adalah bagian dari hak-hak asasi manusia dan landasan
pokok suatu bangsa dalam bernegara. Alasan bahwa Amerika Serikat
telah 200 tahun merdeka, dan Republik Indonesia baru 31 tahun,
tidak bisa diterima sebagai sikap kompromi. Karena kita kini
hidup pada waktu yang sama, dalam dunia kehidupan modern di mana
kita sendiri telah mempunyai alat komunikasi ultra modern
'Palapa,' sehingga perbedaan waktu bisa diperkecil.
Sikap selalu kompromi dan mentolerir segala
keganjilan/ketidakwajaran selama ini tak ubahnya seperti tingkah
burung onta yang menanamkan kepalanya sendiri ke dalam tanah.
Bukankah lambang negara kita adalah garuda yang gagah dan berani
menghadapi segala tantangan?
SUGENG P. RAHARDJO
688 Chestnut STR
Secacus, New Yersey 07094,
USA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini