Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bisnis Gelap Impor Senjata

Tidak ada yang tahu, apakah pemerintah Indonesia marah atau malu ketika dua warga negara Indonesia ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan di Hawaii dengan tuduhan membeli se-njata di Amerika Serikat secara ilegal.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada yang tahu, apakah pemerintah Indonesia marah atau malu ketika dua warga negara Indonesia ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan di Hawaii dengan tuduhan membeli se-njata di Amerika Serikat secara ilegal. Di pengadilan, Senin pekan lalu, mereka meng-aku bahwa alat perlengkapan militer yang akan dibeli adalah untuk keperluan Indone-sia. Di Jakarta, Menteri Pertahan-an Joewono Soedarsono mengeluarkan bantah-an.

Mestinya pemerintah marah, karena pe-dagang perantara yang ditunjuk telah ce-roboh melakukan proses pembelian de-ngan cara yang melanggar peraturan ne-ga-ra AS. Undang-undang pengendalian eks-por senjata dan alat pertahanan stra-te-gis sangat ketat di AS, dan seluruh dunia di-anggap sudah mengetahuinya. Pemerintah Indonesia juga harus malu, karena kedapatan mempercayakan pembelian senjata—soal yang amat sensitif—kepada rekanan yang bonafiditasnya ternyata meragukan. Sembrono dan berperilaku amatir dengan demikian juga bisa ditudingkan ke pejabat pemerintah Indonesia.

Dua perwira menengah TNI Angkatan Udara sempat ikut diperiksa di Hawaii, walau kemudian dibebaskan. Mereka berada di sana untuk mengecek pembelian suku cadang radar pesawat jet tempur F-5 yang dari semula memang dipesan TNI Angkatan Udara. Tapi mereka ikut digerebek ketika bersama-sama para pialang di kamar sebuah hotel menyaksikan contoh peluru kendali Sidewinder dan beberapa jenis senapan api yang ditawarkan. Bagian memesan senjata inilah yang disangkal, baik oleh TNI Angkatan Udara maupun Departemen Pertahanan.

Benarkah tidak ada niat membeli senjata perlengkapan F-5? Punya pesawat pemburu tanpa persenjataan r-oket udara-ke-udara seperti Sidewinder sama saja dengan t-idak punya pesawat tempur sama sekali, seperti jadi macan ompong atau sama juga bo’ong, kata orang Jakarta. Begitu juga dengan perlengkapan radar, yang vital bagi pesawat pem-buru atau penyergap dengan kecepatan melebihi sua-ra. Tanpa radar, pesawat jet akan bagai elang tanpa mata. Karena itu, suku cadang radar F-5 dipesan. Barangkali ada yang kemudian berpikir, mengapa tidak sekalian saja dilengkapi dengan persenjataannya?

Spekulasi tentang kebutuhan Sidewinder itu barangkali membuat pialang rekanan TNI Angkatan Udara yang mulanya mendapat pesanan radar itu mengikhtiarkan pembelian roket itu juga. Tapi itu masih barangkali. Lebih baik pihak Indonesia, Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI, menjelaskan secara tuntas lekuk-liku perkara sebenarnya sebelum nanti terungkap juga dalam sidang pengadilan di AS. Malu akan berlipat ganda seandai-nya ternyata ada pembicaraan tentang niat memperoleh Sidewinder, walaupun ke-mungkinan itu baru dibahas secara informal saja.

Yang terang, PT Ataru Indonesia, per-usa-haan rekanan TNI Angkatan Udara yang memesan radar itu, tidak punya lisensi yang diperlukan untuk mengimpor senjata dari AS. Sedangkan untuk memesan radar saja PT Ataru masih harus mengguna-kan jasa pialang lain dari Singapura, yaitu per-usahaan Indodial Pte. Ltd. Perusahaan ini juga tak punya lisensi untuk mengimpor senjata. Sekalipun belum melakukan transaksi, berencana mengimpor senjata da-ri Amerika tanpa lisensi sudah bisa digolongkan sebagai suatu kejahatan.

Dari peristiwa ini terungkap bahwa pengadaan senjata meru-pakan bisnis yang cenderung mengandung ketidakbe-res-an dan kecurangan. Di luar pengadaan senjata secara te-rang dan resmi, selalu ada kemungkinan mendapatkannya melalui perdagangan gelap atau penyelundupan. Kemungkinan ketiga ialah yang masuk daerah remang-remang, an-tara sah dan ilegal, barangkali karena prosesnya lebih mudah dan harga-nya lebih murah, namun risikonya tetap tinggi.

Di Indonesia, pengadaan senjata dan alat pertahanan lain sering dilakukan secara tertutup—warisan kebiasaan za-man dulu. Ini membuka peluang untuk melakukan transaksi secara tidak wajar, yang diwarnai korupsi dengan praktek mark-up harga dan komisi untuk pejabat. Usaha untuk menertibkan melalui pemesanan Government to Government mutlak harus dilakukan, seperti dijanjikan akan dilakukan oleh Departemen Pertahanan sekarang. Tender terbuka, tata cara pengadaan barang untuk peme-rintah sebagaimana diatur dalam Keppres 80 Tahun 2003 juga harus dijalankan dengan patuh.

Memang, tak mungkin menghapus peranan perusahaan dagang dalam pelaksanaan jual-beli dan pengirimannya. Karena itu, pemerintah harus menyaring perusahaan yang memenuhi syarat dan memeriksa agar semua prosedur ditempuh secara benar. Jangan ada yang menyelonong memberi komando berbelanja senjata tanpa sepengetahuan staf yang seharusnya resmi terlibat. Pengalaman penangkapan pialang senjata di Hawaii hendaknya merupakan kekeliruan terakhir yang dilakukan oleh angkatan bersenjata kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus