Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Richo Andi Wibowo
Dosen Hukum Administrasi Negara UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pemilihan presiden beberapa waktu lalu turut menjelaskan kedudukan hukum badan usaha milik negara (BUMN) dan anak perusahaan BUMN. Hal ini adalah isu fundamental yang kerap diperdebatkan oleh banyak orang. Namun telah optimalkah MK menjelaskan isu tersebut? Upaya apa lagi yang perlu dipertimbangkan untuk "mendamaikan" perbedaan pandangan yang ada?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sengketa itu, kubu Prabowo menilai pencalonan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden melanggar Pasal 227 huruf p Undang-Undang Pemilihan Umum. Pasal itu mensyaratkan pasangan calon presiden dan wakil presiden melampirkan surat pengunduran diri sebagai karyawan atau pejabat BUMN atau badan usaha milik daerah (BUMD). Tapi Ma’ruf tidak menanggalkan posisinya sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah-keduanya merupakan anak perusahaan BUMN Bank Mandiri dan BNI. Kubu Prabowo berpendapat pencalonan Ma’ruf melanggar undang-undang karena anak perusahaan BUMN berstatus sama dengan BUMN.
Ada empat alasan MK menolak argumen tersebut: (i) Keberatan tersebut terlambat, karena jika ingin dipermasalahkan, seharusnya dilakukan sesaat setelah Jokowi-Ma’ruf melakukan deklarasi pencalonan; (ii) Forum sengketa untuk mempermasalahkan ini adalah Badan Pengawas Pemilu dan upaya keberatannya di pengadilan tata usaha negara; (iii) Posisi DPS mirip konsultan, sehingga berada di luar nomenklatur karyawan atau pejabat BUMN; (iv) Kedua bank itu bukan BUMN, melainkan anak perusahaan BUMN.
Saya sependapat dengan argumen MK bahwa pencalonan Ma’ruf memang tidak bisa lagi dipermasalahkan oleh kubu Prabowo. Argumentasi (i), (ii), dan (iii) meyakinkan. Namun argumen MK yang mengklasifikasikan BUMN dan anak perusahaan BUMN adalah dua "mahkluk" yang berbeda belum meyakinkan.
MK terburu-buru berpendapat bahwa keduanya berbeda hanya berdasarkan sumber permodalannya. Pada BUMN, seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung. Pada anak perusahaan BUMN, modalnya tidak melalui penyertaan langsung, tapi melalui induknya, yaitu BUMN.
MK diyakini merujuk pada Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri BUMN Nomor 3 Tahun 2012 bahwa "anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN".
Mengingat rujukan tersebut mengandung frasa "perseroan terbatas", sebagian pihak bersorak-sorai dengan hadirnya putusan MK ini. Mereka menafsirkan anak perusahaan akan mendapatkan fleksibilitas layaknya swasta serta menganggap norma hukum publik tidak lagi relevan untuk mengatur mereka.
Padahal hukum publik tidak memandang demikian. Anak perusahaan BUMN dipandang memiliki kesamaan dengan BUMN karena sama-sama masuk cakupan terminologi keuangan negara. Menurut Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan negara mencakup kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk pada perusahaan negara, bahkan mencakup kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan fasilitas yang digunakan oleh pemerintah.
Apalagi penjelasan umum undang-undang tersebut menyatakan cakupan obyek keuangan negara adalah apa-apa yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh BUMN/BUMD, sehingga bisa dimaknai termasuk anak perusahaan BUMN.
Kondisi putusan MK tidak menyinggung hal substantif itu masih bisa dimaklumi. Konteks dan substansi putusan memang lebih pada sengketa hasil pemilihan presiden. Namun hal ini juga berarti bahwa putusan MK belum bisa dipandang sebagai tafsir konstitusional atas isu kompleks keuangan negara dan kedudukan anak perusahaan BUMN. Masih terbuka kemungkinan bagi pemerintah untuk memperjelas isu ini atau bagi masyarakat untuk melakukan judicial review.
Apa pun langkah yang kelak diambil, perlu ada empat substansi yang relevan diperhatikan sebagai upaya untuk "mendamaikan" perbedaan paradigma. Pertama, BUMN dan anak perusahaan BUMN perlu diberikan keleluasaan dalam aktivitas bisnis agar bisa mengimbangi kegesitan swasta.
Kedua, BUMN dan anak perusahaan BUMN tetap diawasi dengan logika pengawasan hukum publik oleh lembaga negara yang independen, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), agar mereka tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau politik.
Ketiga, pengawasan BPK jangan berangkat dari paradigma pengelolaan kekayaan negara berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan, melainkan pada paradigma usaha, sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 62 Tahun 2013.
Keempat, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang korupsi yang merugikan keuangan negara perlu diterapkan dengan amat hati-hati agar tidak menciptakan ketakutan yang tidak perlu. Jangan sampai permasalahan hukum perdata atau administrasi dikualifikasi sebagai korupsi. Untuk itu, penting agar pemangku kepentingan mengindahkan Putusan MK Nomor 3 Tahun 2006 dan Nomor 25 Tahun 2016 yang menyempitkan dan mengarahkan pengoperasian kedua pasal tersebut.