Lonceng kematian terhadap Bank Summa telah berdentang pada 14 Desember 1992 lalu, yakni dengan mencabut izin usaha Bank Summa. Menteri Keuangan telah memerintahkan agar direksi bank tersebut melikuidasi. Likuidasi suatu bank memang mempunyai dasar hukum menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara 1992 No. 31), Pasal 37 ayat (4). Namun, yang perlu diketahui oleh publik, yakni bila terjadi likuidasi, nasabah yang dirugikan. Sebab, uang nasabah tak mungkin kembali dengan utuh. Itulah yang dihadapi keluarga Soeryadjaya, meliputi utang -- sebagaimana yang dihitung Kwik Kian Gie -- tak kurang dari Rp 3 trilyun (TEMPO, 26 Desember 1992, Laporan Utama). Bila kita membuka Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), kedudukan nasabah sebagai kreditur konkuren mempunyai urutan yang terakhir setelah kreditur istimewa (privilege) (ivider: Pasal 1139 ayat (1) ijor 1149 ayat (1) KUH Perdata) dan pemegang hipotek, gadai, dan fiducia yang dikenal mempunyai idroit de preferencer (hak didahulukan). Sesudah itu, tibalah giliran kreditur yang paling buntut, yakni kreditur konkuren yang memperoleh pelunasan piutangnya secara ipondspondsgewijs r(keseimbangan) menurut besarkecilnya piutang tiap kreditur (Pasal 1132 KUH Perdata). Inilah risikonya, jika kita mempercayakan uang tersebut disimpan di suatu bank yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT). Menurut hukum (Pasal 47 KUHD), suatu PT yang menderita kerugian sebesar 50% dari modalnya, para pengurus perseroan itu harus mengumumkan dalam register yang disediakan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam berita negara. Selanjutnya jika perseroan merugi sebesar 75%, perseroan itu, demi hukum, bubar. Sisi gelap dari badan hukum yang berbentuk PT adalah tidak transparannya isi perut dari suatu bank yang sakitsakitan. Di sini, mata publik bisa terkecoh karena mereka tidak mengetahui, apakah suatu bank dalam kondisi sekarat atau sehat. Apalagi UU No. 7 Tahun 1992 bagaikan ''macan ompong''. Buktinya, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tidak mampu mengawasi dan menindak secara tegas pelanggaran ilegal lending limitr yang tidak boleh melebihi 30% dari batas maksimum pemberian kredit, termasuk perusahaanperusahaan dari grup bank yang bersangkutan. Efek samping dari menjamurnya bank swasta tak terlepas dari kebijaksanaan deregulasi, yang melahirkan bankir yang melalaikan atau dengan sengaja melupakan iprudent banking practicer (prinsip kehatihatian) dalam melakukan usaha di bidang perbankan. Untuk itu, saya sependapat dengan usul yang dilontarkan oleh Christianto Wibisono agar dapat dibentuk Lembaga Wali Asuransi Deposito yang melindungi kepentingan nasabah jika suatu bank mengalami likuidasi atau kepailitan. Di samping itu, perlu dijalankan ilaw enforcementr terhadap UU No. 7/1992 yang mengatur sanksi pidana atas ibusiness crimer yang dilakukan oleh bankir. HADI DARMONO, S.H. Jalan Jenderal Sudirman 899 Purwokerto 53147 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini