Anatomi Golongan Putih DANIEL DHAKIDAE GOLONGAN Putih berkembang lebih besar dari yang sewajarnya diduga semula. Dari sesuatu yang "amorfik", tanpa bentuk, ia menjadi suatu entitas politik -- - atau semacam suatu binatang politiklah. Di sini sebenarnya letak paradoks Golput: terlalu kecil dalam jumlah untuk membuatnya berarti, tetapi terlalu penting dalam makna untuk dinafikan begitu saja. Golput sebenarnya sama sekali tidak perlu dipersoalkan, kalau ia bukan suatu tanda, yaitu bahwa ia adalah sisi lain dari mata uang yang sama yaitu yang disebut "demokrasi". Ketika Golput menjadi "morfik", dengan bentuk, di sana ia menjadi tantangan. Ia beralih dari suatu hiruk-pikuk politik menjadi sesuatu yang lebih berarti. Golongan Putih justru dari saat ke saat menghidupkan paradoks itu. Di dalam suatu sistem di mana ada diskriminasi politik -- di mana pun dan kapan pun -- - hak pilih senantiasa menjadi idaman, impian, dan perjuangan. Ledekan Golongan Putih adalah justru karena ia memorakporandakan nilai-nilai itu. Hak untuk memilih tidak lagi menjadi idaman. Niat untuk tidak memilih akhirnya menjadi perjuangan. Di sana Golput bikin gatal kepala yang berkuasa. Kelainan atau Perjuangan Ada sistem demokrasi yang membuat memilih menjadi kewajiban. Di situ hampir-hampir tidak ada golongan putih, dan yang berkuasa menepuk dada ketika mengumumkan kemenangannya. Tetapi di sini lagi paradoksnya golongan putih. Ketika penguasa di sana -- ambillah Eropa Timur sebelum glasnost dan perestroika -- menepuk dada bahwa "golongan putih" dapat dicukur sampai gundul, sebenarnya dia mengumumkan bahwa demokrasi yang -- dalam pidatonya dia sanjung tinggi-tinggi -- sudah dapat dia cukur sampai gundul, dengan pisau cukur yang sama. Lain lagi dalam sistem demokrasi liberal. Dari tahun ke tahun Amerika Serikat mengalami kenyataan bahwa "golongan putih" makin meningkat jumlahnya, sampai mencapai 30 persen, kalau tidak keliru. Tetapi di sana kalau ditanya kenapa tidak memilih dia akan bilang: apa yang harus saya pilih? Dua partai itu -- - baik Demokrat maupun Republik -- adalah tweedledum and tweedledee, setali tiga uang, alias sama saja brengseknya. Atau dengan bahasa gedenya, kita katakan yang terjadi adalah apati politik. Golongan putih pun di sana lebih jadi obyek para psikolog karena dianggap suatu kelainan. Di situlah letak perbedaan dua sistem itu. Di dalam kasus pertama, golongan putih betul-betul menjadi domba korban totalitarianisme. Namun, membunuh domba ini adalah membunuh demokrasi. Karena itu, di sana golongan putih adalah perjuangan. Di dalam kasus yang kedua, golongan putih sebenarnya mencapai apa yang diidamkan, yaitu memanfaatkan sepenuh-penuhnya sistem yang menghormati memilih adalah hak -- dan si golput bangga dengan itu. Orang -- ahli ilmu politik dan politisi -- boleh menyebutnya sebagai kelainan, tapi mereka yang tidak memilih itu tidak ambil pusing dan menjawab: To hell with both of them! Dua-duanya -- -ahli ilmu politik dan politisi -- juga sama saja ... brengseknya. The tweedledum and tweedledee! Kalau Golput Turun Kelas Apa yang terjadi di dalam demokrasi Pancasila? Jelek-jelek, saya meneliti yang namanya golongan putih itu pada saat yang relatif cukup awal.* Ada banyak hal yang bisa dikemukakan, tetapi yang terpenting adalah tingkat kesadaran politik mereka yang tidak memilih cukup tinggi, karena orang-orang ini adalah kelompok yang kadar keterlibatan politiknya tinggi. Didukung oleh kadar yang tinggi itu mereka tidak melihat adanya kemampuan partai peserta memberikan alternatif pemecahan persoalan politik dan ekonomi. Dengan kata lain sebenarnya mereka katakan para peserta juga tweeledum and tweedledee. Tetapi orang akan katakan bahwa tentu saja tinggi kesadaran politik mereka karena mereka adalah mahasiswa. Di sini lagi soalnya. Kalau dulu golongan putih yang perlu dikhawatirkan berasal dari kalangan elite sistem politik jangan-jangan golongan putih mulai "turun kelas" ke lapisan bawah. Trauma bulldozer politics alias politik hantam kromo itulah dukun anak yang namanya Golput. Kalau bulldozer politics tak kunjung kapok, Golput akan "turun kelas" ke kelas bawah dari piramida sosial-politik dan ekonomi. Kalau begitu, kedua lapisan bakal diikat oleh sesuatu yang sama, yaitu trauma yang meningkatkan tingginya kesadaran politik bahwa memilih bukan hak. Kalau itu yang terjadi Golput adalah perjuangan. Kalau masyarakat Kedungombo menyatakan dirinya sebagai golongan putih, mungkin baru orang percaya bahwa golongan putih sudah beralih bentuk dan menjadi perjuangan. Kalau begitu, semakin jelaslah golongan putih menjadi ledekan terhadap demokrasi ritual. Di sana juga letak dilemanya. Kalau kita menganggap golongan putih sebagai kelainan, kita akan dibentak oleh "keyakinan" kita sendiri bahwa di sini tidak ada tempat bagi demokrasi liberal. Tetapi kalau golongan putih "berhasil" meyakinkan bahwa itulah perjuangan, sekali lagi kepala kita seperti diledakkan oleh Scud: ada yang tidak beres dengan sistem ini. Ada beberapa cara mengatasinya. Antara lain, cukur golongan putih sampai gundul! Tetapi sekali lagi golongan putih menampilkan paradoks yang memilukan. Ia bisa dicukur sampai gundul tetapi pada saat yang sama demokrasi juga dicukur gundul. Pada saat seorang mengumumkan kematian golongan putih pada saat yang sama orang mengumumkan kematian demokrasi. Di sana juga letak kelemahan metafora golongan putih sebagai nyamuk. Bunuhlah nyamuk maka anda berjasa kepada kemanusiaan. Tetapi bunuh golongan putih, dengan pedang yang sama Anda sebenarnya sudah membunuh demokrasi! * Judul skripsi doktorandus itu: "Non-voting dalam Pemilihan Umum 1971 di Indonesia", Fakultas Sosial dan Politik, UGM, 1975
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini