Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Antara Megawati dan M.A. Rachman

Presiden Megawati tidak akan mencopot Jaksa Agung M.A. Rachman hanya gara-gara punya rumah bermasalah. Apa karena Mega punya masalah yang sama?

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK negeri ini hampir saja punya kepercayaan kepada pemerintah tentang pemberantasan korupsi. Dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) adalah langkah awal untuk tumbuhnya kepercayaan itu. Lalu kerja KPKPN dinilai cukup serius dan berani. Ini mencuatkan harapan baru. Apalagi ketika KPKPN berani mengusut harta kekayaan Jaksa Agung M.A. Rachman dan menemukan hal-hal yang tidak wajar. Ada rumah mewah yang tidak dilaporkan. Masyarakat seakan-akan bersorak ketika pemerintah kelihatannya tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Bayangkanlah, KPKPN berani mengobrak-abrik sebuah lembaga penegak hukum. Banyak orang lantas menduga pencopotan M.A. Rachman sebagai Jaksa Agung hanya bilangan waktu. Tokoh-tokoh PDI Perjuangan pun menyiratkan hal serupa, Jaksa Agung yang baru akan segera muncul. Ternyata itu tidak terjadi. Presiden Megawati dengan tegas menyebutkan tidak akan mencopot M.A. Rachman. Alasannya bukan masalah rumah bermasalah, melainkan kalau M.A. Rachman diganti, belum tentu penggantinya lebih bagus. Artinya, Presiden tidak yakin ada orang yang lebih baik dari M.A. Rachman di negeri ini yang bisa didudukkan sebagai Jaksa Agung. Hebat betul M.A. Rachman. Namun yang lebih hebat adalah Megawati. Ternyata, dalam kaitan dengan "rumah bermasalah", Megawati juga punya. Dikatakan bermasalah karena KPKPN pun akan mengusut rumah Megawati itu. Letaknya di Bukit Sentul: sebuah vila 350 meter persegi di atas lahan seluas 15,8 hektare. Vila itu sudah biasa dikunjungi Mega, meskipun tampaknya sang suami, Taufiq Kiemas, tak pernah dibawa ke sana. Vila ini tidak pernah dimasukkan ke dalam daftar kekayaan yang disetorkan oleh pasangan Mega-Taufiq ke KPKPN. Secara formal memang vila itu bukan atas nama Mega. Dalam daftar tanah dan pajak bumi dan bangunan, vila itu milik kakak kandung Kwik Kian Gie, Janwar Darmawan. Menarik untuk diperhatikan nantinya bagaimana KPKPN mengusut masalah ini. Apakah komisi ini terjebak pada urusan-urusan formal atau menerapkan asas siapa yang menikmati? Analoginya adalah seseorang yang membeli kendaraan bekas tapi belum balik nama. Siapakah yang punya kendaraan itu? Yang menikmatinya atau yang namanya tercantum dalam surat-surat kendaraan itu? Masyarakat sudah jelas melihat, sosok Mega-lah yang datang ke vila itu sambil menaruh beberapa perabot dan bunga-bunga kesayangannya. Apakah nantinya KPKPN berani menyodorkan secarik kertas kepada Megawati, yang notabene presiden, yang berisi pernyataan bahwa itu bukan rumahnya? Atau KPKPN meminta surat pernyataan kepada Janwar bahwa itu bukan vila Megawati? Kalau saja Megawati bukan pejabat publik dan bukan penyelenggara negara, akal-akalan begini sudah biasa terjadi di masyarakat, yang tentu saja bukan sebuah contoh yang baik. Repotnya lagi, Megawati punya lagi masalah baru, soal rumah yang kini ditempatinya di Jalan Teuku Umar itu. Awalnya, rumah itu ditempati ketika ia menjadi wakil presiden karena rumah dinas wakil presiden di Jalan Diponegoro sedang direnovasi. Tapi, ketika menjadi presiden, Mega tetap saja tinggal di Jalan Teuku Umar, bahkan pekan lalu kapling rumah itu bertambah satu menjadi tiga kapling. Menjadi pertanyaan di masyarakat: kenapa Megawati mengulangi era Soeharto, yang tinggal di luar Istana dan menambah terus deretan rumahnya? Lalu untuk apa Istana itu dibuat? Memang, antara rumah M.A. Rachman yang bermasalah dan rumah-rumah Megawati yang kini hendak dipermasalahkan sepertinya tidak ada kaitan. Tapi kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah serius memberantas korupsi tidak jadi tumbuh. Entah kalau KPKPN nantinya menuntaskan kasus rumah M.A. Rachman dan berani meneruskan pengusutan atas vila Megawati, eh, Janwar Darmawan, di Bukit Sentul itu, siapa sesungguhnya yang nyata-nyata memiliki vila itu secara fisik, bukan pemilik di atas kertas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus