DEBAT tajam menjelang disahkannya Rancangan Undang-Undang Penyiaran—rencananya disahkan DPR pada Senin pekan ini—menunjukkan satu hal: beleid yang akan mengatur kehidupan media penyiaran itu belum matang benar dibahas. Sebuah undang-undang memang tidak bisa menyenangkan semua pihak. Namun, diskusi yang intens, mendalam, menyeluruh, dengan data yang akurat, niscaya akan mengurangi ketidakpuasan dan ketegangan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Apalagi, ada beberapa pasal dalam undang-undang ini yang bisa membawa kita kepada kesimpulan bahwa media massa (penyiaran) kembali dalam genggaman kontrol penguasa.
Di dalam RUU itu ditemukan apa yang dikenal sebagai pasal-pasal cek kosong—pasal yang peraturan pelaksanaannya ditentukan oleh pemerintah. Setidaknya itu kesimpulan Leo Batubara, salah satu penyusunan RUU yang kini sangat mengkhawatirkan nasib media penyiaran jika RUU tersebut nanti disahkan. Pendapat Leo banyak dipakai di sini.
Pasal cek kosong, di masa yang lalu, merupakan ruang yang nyaman untuk "menyelinapkan" aturan yang bisa menjerat batang leher media massa yang dianggap "bandel". Peraturan Menteri Penerangan (di zaman Harmoko) tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers—yang diselinapkan dalam Undang-Undang Pokok Pers—adalah salah satu contoh pasal cek kosong itu. Rupanya, aturan yang telah dapat "diusir" dari Undang-Undang Pers itu kembali datang dan hinggap di dalam RUU Penyiaran. Selain pasal cek kosong, dalam RUU Penyiaran juga ada sensor dan pengaturan ancaman pidana penjara bagi lembaga penyiaran yang melanggar. Alhasil, pemerintah tidak hanya diberi otoritas untuk memberikan izin frekuensi, tapi juga menentukan sebagian "hidup-mati" lembaga penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia, yang dalam draf semula sangat independen, perlahan-lahan "direkayasa" sebagai alat untuk meneguhkan kendali pemerintah atas media.
Dengan semua kerawanan itu, majalah ini berpendapat sebaiknya pengesahan RUU ini ditunda lagi.
Pasal-pasal yang memberikan kekuasaan untuk mengatur kebijakan pemberitaan sebaiknya dihilangkan—tentu dengan menegakkan hukum yang memadai untuk si pelanggar. Di sisi bisnis, sebaiknya diskusi diarahkan untuk mengatur agar televisi dan radio yang sudah eksis bisa tetap mandiri dalam pemberitaan dan bisnis. Namun, harus dijaga agar mereka yang sudah "besar" itu tidak mematikan kesempatan lembaga penyiaran yang kelak muncul di berbagai daerah.
Yang juga harus diberi perhatian adalah televisi untuk publik. Sejauh ini pengelola TVRI menolak jika lembaga itu diberi label televisi publik. Sebab, dengan label itu, TVRI tidak dibenarkan mencari iklan, sementara dana yang seharusnya disediakan pemerintah dari APBN tidak kunjung mencukupi.
Seperti pernah kami tuliskan di rubrik ini, sungguh disayangkan jika TVRI membuat dirinya berbentuk seperti televisi swasta dengan menjadi perusahaan terbatas dan mencoba hidup dari pendapatan iklan. Sebagai institusi milik pemerintah, TVRI tak sepantasnya masuk ke wilayah bisnis swasta yang sudah berjalan lancar. Lembaga ini seharusnya justru menempatkan dirinya sebagai perangkat pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat Indonesia.
Banyak contoh di negara maju yang dapat ditiru oleh TVRI. Misalnya, Inggris dengan BBC-nya dan Australia dengan ABC. Semua institusi itu dibiayai dengan dana publik dan melalui peraturan negara. Tugas utamanya adalah menunjang pembentukan masyarakat madani di negaranya. Caranya, mereka mengkomunikasikan nilai-nilai demokratis, penghormatan pada hak asasi manusia, juga keragaman etnis, suku, ataupun kepercayaan.
Indonesia yang sangat beragam ini jelas sangat memerlukan sebuah media penyiaran publik yang merawat keragaman itu. Tentu ini bukan hanya tugas TVRI seorang, tapi juga lembaga penyiaran publik serupa di berbagai daerah. Maka, sudah seharusnya Undang-Undang Penyiaran diarahkan untuk mendukung pembentukan lembaga penyiaran publik ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini