BEBERAPA konglomerat yang punya kewajiban besar kepada negara—amat besar, masing-masing puluhan triliun rupiah—minta diberi surat lepas dan bebas dari tuntutan dan tanggung jawab apa pun. Yang punya kewajiban (obligor) minta agar pernyataan release and discharge (R&D) dikeluarkan setelah kewajibannya lunas. Tapi sebaiknya pemerintah berhati-hati mempertimbangkan permintaan ini.
Masalahnya kompleks kalau keinginan obligor dikabulkan begitu saja. Ada soal keadilan, soal kerugian negara, dan soal kepastian hukum yang tersangkut di dalamnya. Selain itu, surat R&D itu tidak terlalu jelas daya lakunya. Sementara itu, timbul soal siapa yang mesti mengeluarkannya atas nama pemerintah dan negara. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Perekonomian, Jaksa Agung, mereka bersama-sama, atau Presiden? Belum terang dan belum diputuskan; yang ada ialah saling lempar di antara mereka.
Sebelum itu, soal ketidakadilan dan kerugian negara akibat dari perjanjian penyelesaian kewajiban yang tertuang dalam master of settlement and acquisition agreement (MSAA) sudah mengganggu rasa kepantasan untuk memberikan surat R&D ini. Sebagai suatu perikatan, memang MSAA harus dipatuhi. Namun, sambil mematuhi, bukan berarti kita dilarang menyesalinya. Kerugian puluhan triliun rupiah harus ditelan negara karena nilai harta yang diterima jauh di bawah jumlah bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan pada bank para obligor ikan paus itu.
Isi MSAA yang dibuat Februari 1999—masih zaman pemerintahan Habibie—menyatakan bahwa obligor atau debitor akan menyerahkan sejumlah hartanya yang ditaksir senilai dengan BLBI yang diterima, yang dianggap utangnya. Kalau cocok, utang menjadi lunas dan obligor diberi pernyataan R&D.
Masalah mulai muncul di sini. Sebab, rumusan pernyataan lepas dari tuntutan dan bebas dari tanggung jawab itu mencakup bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak akan menuntut, melakukan tindakan hukum apa pun terhadap obligor, bank, komisaris, direksi, dan semua staf lainnya sehubungan dengan pelanggaran apa pun yang terjadi mengenai batas maksimum pemberian kredit kepada pemegang saham (BMPK atau legal lending limit) seperti ditentukan dalam undang-undang atau peraturan lainnya serta setiap hal yang berkenaan dengan BLBI.
Rumusan itu melebihi acquit et decharge yang sering dijumpai dalam praktek perseroan biasa. Dalam R&D gaya MSAA, pemerintah menjamin tidak menuntut obligor tentang hal-hal di luar wilayah perdata yang sudah tergolong lingkup hukum publik, yaitu soal melanggar ketentuan BMPK, yang dalam undang-undang tentang perbankan diancam dengan hukuman penjara.
Apakah jaminan seperti itu bisa mengikat kepolisian negara dan kejaksaan agung secara hukum? Apakah persetujuan di antara dua pihak seperti MSAA—meski salah satu pihaknya adalah BPPN yang mewakili pemerintah—yang bersifat perdata itu bisa mengatasi dan menyingkirkan ketentuan undang-undang? Undang-undang tentang perbankan atau tentang tindak pidana korupsi, misalnya? Jawabnya, tidak.
Tuntutan kepastian hukum datang dari dua sudut. Mengeluarkan R&D—sekalipun rugi puluhan triliun rupiah—harus dilakukan demi kepastian hukum. Sebaliknya, tidak mengecualikan siapa pun dari perintah undang-undang juga wajib diikuti demi kepastian hukum. Karena itu, R&D yang dibuat harus dirumuskan lagi sehingga janji yang diberikan tak melampaui wewenang undang-undang, dengan membebaskan obligor dari ketentuan pidana yang berlaku.
Kedudukan pemerintah sebagai penguasa publik jangan dikacaukan dengan posisinya sebagai salah satu pihak dalam MSAA. Dengan demikian jelas, yang menandatangani release and discharge juga cukup Ketua BPPN, yang memang mewakili pemerintah dalam kesepakatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini