Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah bahasa, sebagaimana umumnya ilmu pengetahuan, benar benar dan sungguh sungguh netral, tak berpihak? Sebuah adagium menyatakan: ilmu pengetahuan—juga bahasa—memang netral, yang membuatnya tidak netral adalah penggunanya. Laiknya sebilah gunting, dia bisa dipakai untuk menggunting kain, menyemai tanaman, memangkas kuku di jari, atau menancap di tubuh hingga yang tertancap bersimbah darah
Feminis—baik perempuan maupun lelaki atau male feminist—bahasa jelas tidak (bias) netral. Ada ideologi tertentu di balik pemilihan dan penggunaan kata atau istilah tertentu. Antara kata ”wanita” dan ”perempuan”, kaum feminis lebih memilih kata ”perempuan”. Ideologi yang melingkup di belakangnya: ”empu” berarti ahli, atau hulu, atau kepala; sementara ”wanita” dikesankan sebagai semata pasangan atau bahkan subordinat pria atau lelaki. Dengan merujuk pada majalah majalah wanita, isinya memang tak terasa aroma ”feminis” yang kuat. Bahkan dalam sederetan artikel tip yang dimuat pun pesan moralnya cenderung menggariskan bahwa perempuan adalah pasangan lelaki. Jikapun perempuan sudah mencapai posisi tinggi dalam komposisi manajerial sebuah perusahaan, tetaplah yang bersangkutan harus kembali sebagai pelayan suami jika sudah sampai rumah dan rumah tangga. Karena itu, berlahiranlah tulisan model resep membuat suami betah di rumah, atau bagaimana agar suami tak lupa pada istri, dan seterusnya. Dan majalah majalah tadi memang tak pernah mengiklankan diri sebagai majalah perempuan, melainkan majalah wanita. Sebuah tabloid bahkan menyandang slogan: ”siapa bilang wanita tak butuh berita…”. Bukan: ”siapa bilang perempuan tak butuh berita…”.
Maaf, saya tak serta merta begitu saja mengikuti kecenderungan menggunakan kata ”perempuan” jikapun itu diniatkan untuk meninggikan derajat perempuan/wanita. Selain saya tak ingin salah satu lema—”perempuan” ataukah ”wanita”—lenyap dari jajaran kosakata Indonesia, ingatan saya saat sekolah lanjutan pertama masih mengiangkan makna ”perempuan” sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan. Kala itu, saya baca sebuah cerita fiksi di sebuah media, dan di sana digambarkan seorang pekerja kantoran yang sedang dinas di lain kota menginap di sebuah hotel. Saat malam tiba, pekerja berjenis kelamin lelaki itu meninggalkan kamarnya dan bertanya pada petugas hotel: ”Di mana bisa cari perempuan?” Nah, dalam bahasa masa kini, ”perempuan” dalam kosakata ala orang kantoran lain kota tadi maknanya sama dan sebangun dengan pekerja seks komersial alias PSK.
Memang benar, tak ada istilah perempuan tunasusila; yang ada: wanita tunasusila. Ini pun terhitung bias dan diskriminatif, karena yang dianggap tunasusila sebatas wanita/perempuan, sementara tak pernah ada istilah lelaki tunasusila, seakan laki laki tak layak disangkutkan dengan ketunasusilaan; padahal sebagaimana dipaparkan Menteri Kesehatan Endang R. Sedyaningsih Mamahit dalam bukunya, Perempuan perempuan Kramat Tunggak (2010), jumlah penghuni kompleks prostitusi (perempuan) tak sebanding dengan jumlah tamu atau pelanggan (laki laki) yang datang bertandang, yang jumlahnya lebih dari dua kali lipat.
Contoh konkret lain: saat memberitakan peristiwa asusila pemerkosaan, misalnya, media memerinci gambaran perempuan/wanita teperkosa: ”Ibu muda yang cantik ini diperdaya oleh Suk” (kompas.com, 2 September 2009), atau ”Wanita berkulit langsat itu diperkosa oleh duda beranak dua, yang masih tetangga korban” (pekanbarumx online, 14 Juli 2009). Kata keterangan ”cantik” dan ”kuning langsat” secara variatif juga disejajarkan dengan kata ”sintal”, ”seksi”, atau ”semlohe”. Penggunaan perincian keterangan ini justru mewacanakan bahwa ada korelasi antara kesintalan tubuh, kulit yang kuning langsat, semlohe, dan status janda menjadi musabab terjadinya pemerkosaan.
Cara pikir yang sejajar pula yang kemudian melahirkan berderet peraturan daerah yang melarang perempuan berada di ruang publik pada malam hari. Alasan pembuat perundangan: menghindari pemerkosaan—atau kalaulah tetap keluar rumah, berarti perempuan itu ya PSK; dan itulah yang terjadi dalam pentas drama berkait peraturan daerah di Tangerang, Banten, yang mengakibatkan salah tangkap terhadap seorang perempuan pekerja biasa yang bukan pekerja seks komersial serta bukan pula pekerja seks sosial. Naga naganya, tak ada pikiran untuk menyusun peraturan yang justru memungkinkan mengganjar para lelaki yang tak hendak mengendalikan libido syahwat kelaminnya.
Tampaknya tak akan pernah lahir peraturan yang bisa dipakai untuk menyidangkan laki laki yang berlaku lajak macam itu. Sebab, bukankah yang membuatnya berlaku lajak adalah sesuatu di luar diri laki laki itu. Demikianlah media mewacanakan: ”Entah setan mana yang menghinggapi kepalanya, tiba tiba Surtiyono dengan kemolekan tubuh anaknya…” (Karo Cyber Community, 21 April 2009), serta ”Duda yang bercerai dengan isterinya tahun lalu, telah mengikuti bujukan setan… (dia) memperkosa anak gadisnya sendiri, yang berumur 14 tahun.” (kompas.com, 8 Agustus 2010)
Betapa mustahilnya untuk mengadili setan, kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo