Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ujung periode pertama kekuasaannya, Presiden Joko Widodo semestinya tidak memutuskan proyek mercusuar yang bisa berbahaya: pemindahan ibu kota. Sejarah mencatat, keputusan serupa di sejumlah negara lain tidak menghasilkan hal ideal yang dicita-citakan. Ia tidak perlu mengulang kegagalan-kegagalan itu.
Keputusan memindahkan ibu kota disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas pada Senin, 29 April lalu, ketika perhatian publik masih terfokus pada hasil pemilu. Sejumlah tempat di Jakarta, pada hari-hari itu, memang terendam banjir. Sergapan air bah inilah yang selalu memunculkan wacana pemindahan ibu kota, selain kemacetan lalu lintas yang menurut sejumlah penelitian menimbulkan kerugian besar.
Dengan dasar hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jokowi berencana memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Dalam kajian lembaga itu, disebutkan bahwa Jakarta tidak bisa lagi menanggung beban sebagai pusat pemerintahan, pelayanan publik, dan bisnis. Namun memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah lain pun belum tentu bisa menyelesaikan persoalan itu. Apalagi pemindahan itu jelas memerlukan biaya jumbo.
Pembangunan kantor-kantor pemerintahan di ibu kota baru diperkirakan menyedot anggaran hingga Rp 466 triliun. Biaya yang tak kalah besar mesti disediakan buat ongkos mobilisasi dan memenuhi kebutuhan tempat tinggal sekitar 195 ribu pegawai pemerintahan. Pendek kata, pemindahan ibu kota merupakan proyek raksasa. Biaya membangun ibu kota baru bisa jauh lebih besar daripada yang diperkirakan. Pertanyaannya: mampu dan perlukah pada saat ini negara menyediakan duit sebesar itu?
Sejarah mencatat, hasil pemindahan ibu kota tak seindah pidato para penggagasnya. Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia di era Presiden Juscelino Kubitschek de Oliveira pada 1960. Brasilia dibangun dengan klaim menjadi ibu kota yang setara bagi semua orang. Kenyataannya, selain soal estetika yang tidak bisa menandingi Rio, pembangunan Brasilia justru menciptakan kesenjangan baru. Kota ini hanya ditinggali kalangan atas.
Tak jauh dari Indonesia, Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw. Belakangan, Naypyidaw menjadi “kota hantu” karena penduduk ogah bermukim di kota itu. Biaya besar dengan hasil yang tak sesuai dengan harapan juga terjadi ketika pemimpin Pantai Gading membangun ibu kota baru di Yamoussoukro. Hampir semua pemindahan itu dilakukan karena pemimpin negara-negara tersebut ingin meninggalkan warisan pada periode kepemimpinannya.
Secara teori, bisa jadi ada manfaatnya ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke luar Jawa. Selama ini, kekuasaan dan bisnis terpusat di Pulau Jawa. Akibatnya, wilayah ini memiliki nilai politik yang jauh lebih tinggi daripada pulau lain di Indonesia. Pemindahan akan membuat kekuasaan dan bisnis berpotensi tersebar ke wilayah baru. Namun ongkos besar dan hasil yang tak sepadan dalam pengalaman negara lain harus menjadi bahan bagi Jokowi untuk menarik kembali keputusannya.
Indonesia tidak—atau belum—memerlukan ibu kota baru. Presiden Jokowi tidak perlu memaksakan diri menghasilkan peninggalan seperti ini kelak pada akhir kekuasaannya. Kumpulan pajak yang dipungut dari rakyat Indonesia terlalu berharga untuk digelontorkan buat menghasilkan proyek mercusuar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo