Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen.
Tujuannya untuk mengendalikan nilai tukar rupiah dan memitigasi inflasi barang impor.
Akan mempengaruhi kenaikan suku bunga kredit perbankan, termasuk kredit perumahan rakyat.
Paul Sutaryono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Assistant Vice President BNI (2005-2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah bertahan selama sembilan bulan, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-7 Day Reverse Repo Rate naik dari 5,75 persen menjadi 6 persen pada 19 Oktober lalu. Apa saja dampak kenaikan suku bunga itu terhadap perbankan dan sektor riil, terutama kredit pemilikan rumah (KPR)?
Sebelumnya, mari kita amati dulu kinerja bank umum. Menurut siaran pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 9 Oktober lalu, kredit bank umum tumbuh secara tahunan (year-on-year) sebesar 9,06 persen, dari Rp 6.179 triliun pada 2022 menjadi Rp 6.739 triliun pada Agustus 2023. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh kurang subur sebanyak 6,24 persen, dari Rp 7.608 triliun menjadi Rp 8.082 triliun. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) naik, dari 81,22 persen menjadi 83,38 persen, dan masih dalam ambang batas 78-92 persen. Artinya, pertumbuhan kredit moderat, meskipun target pertumbuhan kredit OJK mencapai 10-12 persen pada 2023.
Margin bunga bersih (NIM) naik, dari 4,73 persen menjadi 4,87 persen, yang berarti bisnis perbankan masih gurih. Imbal hasil aset (ROA) pun naik, dari 2,48 persen menjadi 2,74 persen, yang menegaskan bahwa kualitas aset membaik dan berada di atas ambang 1,5 persen. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (NPL) tampak membaik, dari 2,88 persen menjadi 2,50 persen, jauh di bawah ambang batas aman 5 persen.
Sejatinya, apa tujuan BI menaikkan suku bunga acuan? Kebijakan itu bertujuan menanggapi ketidakpastian global. Kebijakan itu juga bertujuan mengendalikan nilai tukar rupiah dan memitigasi inflasi barang impor. Kini nilai tukar rupiah mendekati angka 16 ribu per dolar Amerika Serikat.
Pada umumnya, kenaikan suku bunga acuan BI akan mempengaruhi kenaikan suku bunga kredit perbankan. Namun kali ini kemungkinan besar tak ada kenaikan karena likuiditas berlimpah ruah. Hal itu tampak dari rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) yang sebesar 118,50 persen per Agustus 2023, di atas ambang batas 50 persen. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebesar 26,49 persen per Agustus 2023, di atas ambang batas 10 persen.
Sekalipun kelak suku bunga kredit perbankan mendaki, hal itu baru akan terjadi pada tiga bulan ke depan. Hal ini karena bank harus memperhitungkan kembali manajemen aset dan liabilitas (kewajiban ke pihak ketiga) lebih dulu. Dengan kata lain, bank tidak akan serta-merta menaikkan suku bunga kredit segera setelah suku bunga acuan BI naik.
Bagaimana pengaruhnya terhadap sektor riil, dalam hal ini sektor properti, terutama kredit pemilikan rumah (KPR)? Kenaikan suku bunga KPR tentu akan membebani nasabah yang memilih KPR dengan suku bunga mengambang (floating rate). Hal ini terjadi lantaran suku bunga mengambang akan mengikuti perubahan (naik atau turun) suku bunga acuan BI.
Celakanya, bank hanya sigap menaikkan suku bunga KPR manakala suku bunga acuan BI naik. Jika bank tidak segera menurunkan suku bunga KPR ketika suku bunga acuan BI turun, nasabah dapat segera menyampaikan permintaan (tertulis) penurunan suku bunga KPR mengambang kepada kantor pusat bank. Seharusnya bank mengabulkannya.
Apakah suku bunga KPR bersubsidi bakal naik? Semoga tidak karena harga rumah bersubsidi sudah melambung sejak 23 Juni lalu. Aturan baru KPR menetapkan batasan harga jual rumah yang dibagi menjadi lima wilayah. Batas harga rumah bersubsidi terendah menjadi Rp 162 juta pada 2023 dan Rp 166 juta mulai 2024 di wilayah Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) serta Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Kepulauan Mentawai). Adapun harga rumah bersubsidi tertinggi menjadi Rp 234 juta pada 2023 dan Rp 240 juta mulai 2024 di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, serta Papua Selatan.
Menurut kabar terakhir, pemerintah akan segera memberikan insentif berupa pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi properti. Pemerintah juga akan membebaskan biaya administrasi bagi rumah bersubsidi masyarakat berpenghasilan rendah.
Upaya semacam itu merupakan langkah strategis untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pemerintah perlu menggenjot pengeluaran untuk menggairahkan perekonomian domestik.
Di sisi perbankan, bank wajib mengerek stamina melalui penguatan modal dan pembentukan cadangan. Bank juga disarankan melakukan stress test untuk mengukur staminanya. Hal itu penting dilakukan agar bank mampu menyerap aneka potensi risiko kredit, pasar, operasional, dan likuiditas.
Ketidakpastian ekonomi global kian tinggi, yang disulut kebijakan moneter global yang masih ketat (hawkish) dan akibat geopolitik global, yakni invasi Rusia ke Ukraina serta perang Israel-Hamas. Hal itu melahirkan gangguan pada rantai pasokan dan penipisan nilai ekspor nasional.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo