Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 24 Ferbuari 2020, pemimpin dari dua negara demokrasi terbesar di dunia akan bertemu di Ahmedabad, Gujarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donald Trump dan Narendra Modi adalah setali tiga uang – otokrat yang tidak masalah jika harus berbohong, meremehkan konstitusi, dan memuntahkan racun rasis. Trump membangun fasilitas untuk menahan "imigran ilegal" Latin di dekat perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko – Modi juga diduga melakukan hal yang serupa untuk "imigran ilegal" muslim di Assam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilih mengantri untuk memberikan suaranya di posko di Jafrabad, Delhi pada 8 Februari 2020
Apakah pertemuan di 2020 ini bagaikan pertemuan Hitler-Mussolini di tahun 1930? Namun dengan kondisi hubungan antar kedua raksasa yang kurang baik: dirundung sengketa dagang dan investasi.
Terlebih, pada awal bulan ini, Modi mengalami kekalahan dalam pemilu di parlemen Delhi. Sang Juggernaut, BLP – dan semua uangnya, dukungan media, dan serangan anti-muslim yang kuat – gagal mengalahkan Partai Aam Admi (Partai Orang Biasa) atau AAP dan pemimpinnya yang sederhana, Menteri Utama, Arvind Kejriwal.
AAP memenangkan 62 dari 70 kursi DPR di Delhi, dengan BJP – yang menyikat bersih 7 konstituen federal Lok Sabha dalam Pemilu 2019 – mengambil sisanya.
Kejriwal yang berkacamata – mantan pegawai pajak – adalah antonim dari Narendra Modi beserta sekutu-sekutunya yang bombastis: mantan pengkotbah tukang hasut yang menjadi Menteri Utama Uttar Pradesh, Yogi Adiyanath dan Menteri Dalam Negeri yang seperti preman, Amit Shah.
Pada tahun 2011, Kejriwal, dengan ikon Gandhian Anna Hazare, mengawal protes nasional yang menekan pemerintah India untuk membuat "Jan Lokpal" atau Ombudsman sebagai badan anti-korupsi yang memiliki kuasa luas. Setelah berpisah dengan Hazare, Kejriwal mendirikan Partai AAP pada tahun 2012, mendapatkan kuasa di Delhi pada Pemilu 2013, dan kembali menang pada 2015.
Kejriwal mengunjungi kuil Hanuman di Delhi
Di tahun 2020, ketika BJP bertarung mati-matian melawan Kejriwal, melabeli dirinya "teroris" karena berlaku lembek kepada pendemo damai yang beranggotakan kumpulan wanita Muslim yang memblokade daerah Shaheen Bagh – sebuah jalan arteri penting – dalam protes mereka terhadap Citizenship Amandmet Act (CAA) atau Undang-Undang Kewarganegaraan.
Yogi Aditiyanath menuduh Kejriwal mengirim nasi briyani kepada para perempuan itu. Amit Shah menyerukan para pemilih di Delhi agar memilih BJP Dan menekan tombol pemungutan suara dengan penuh kemarahan seperti yang dirasakan oleh pengguna jalan di Shaheen Bagh.
Namun, justru malah BJP yang terjungkal.
Jadi, bagaimana Kejriwal bisa menang?
Yang pertama, dia punya hasil.
Ia memang gagal membentuk ombudsman Jan Lokpal akibat gangguan parlemen federal, namun di bawah kepemimpinan Kejriwal, ia berhasil menghadirkan listrik gratis serta layanan kesehatan yang memadai untuk kaum papa di Delhi. Ia juga berhasil memperkuat sekolah umum – yang menghabiskan 25% dari total anggaran 600 juta Rupee untuk pendidikan.
Coba bandingkan ini dengan kekusutan yang dibuat Modi terhadap perekonomian India: yang diprediksi hanya akan berkembang sebesar 5% (terendah dalam 11 tahun), dan di saat bersamaan, inflasi mencapai 7,59%. Pengangguran urban pada Januari 2020 berjumlah 9,7%.
Yang kedua, Kejriwal menghindari obsesi politik identitas BJP.
Ia menyatakan bahwa pendemo Shaheen Bagh memiliki hak untuk berdemonstrasi, namun jalanan harus tetap dibuka – ini demi menghindari anggapan bahwa ia mendukung demo secara terbuka.
Amit Shah menyapa masyarakat saat reli Pemilihan Umum di Delhi.
Lalu, ia berargumen bahwa wewenang untuk mengamankan kawasan tersebut justru berada di tangan Amit Shah sebagai Menteri Dalam Negeri yang membawahi Polisi Delhi.
Kejriwal lalu berkelakar: "Saya bilang bangun sekolah: mereka bilang Shaheen Bagh… Saya bilang bangun rumah sakit: mereka bilang Shaheen Bagh. Saya bilang tentang listrik baik: mereka bilang Shaheen Bagh. Memangnya tidak ada isu lain di Delhi?"
Pada akhirnya, AAP merangkul patriotisme dan kepercayaan. Tidak seperti Partai Congress (yang sama sekali tidak memenangkan kursi satupun), AAP mendukung pencabutan status istimewa negara bagian Jammu dan Kashmir yang kontroversial.
Meski demikian, Kejriwal mengunjungi Kuil Hanuman di Delhi ketika dan sesudah kampanye (ia penyembah Dewa Monyet tersebut). Pidato kemenangannya mengandung jargon-jargon patriotik seperti "Bharat Mata Ki Jai" (Kemenangan Untuk Ibu India), "Inquilab Zindabad" (Panjang Umur Revolusi), serta "Vande Mataram" (Kupuja Engkau, Ibu (India)).
Cara Kejriwal menggunakan nasionalisme India dan Budaya Hindu memang bisa dibilang untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun keduanya akan tetap ada. Kedua hal inilah yang harus diperbaiki.
Apakah ini berarti harus mengorbankan minoritas? Tentu tidak, AAP memberi contoh untuk hal tersebut. Tidak ada gunanya berteriak-teriak soal pluralisme apabila ketidakadilan sosioekonomi tidak diperbaiki.
Seperti kata penulis cerdik, Sagarika Ghose yang menulis kolom untuk Times of India: "Sekularisme tidak berarti menghilangkan kepercayaan personal. Sekularisme berarti negara tidak boleh melakukan diskriminasi antar agama. Inovasi AAP adalah dengan memperlakukan Hinduisme sebagai sesuatu yang murni bersifat budaya, mereka menolak untuk berkompetisi dengan konteks BJP dan terjerat dalam kontroversi yang dipelihara oleh mereka."
Sebaliknya, pendekatan garis keras BJP malah menghancurkan basis pemilih mereka. AAP menjadi satu-satunya pilihan bagi kelompok Muslim Delhi (12% dari populasi Delhi). Sementara, BJP hanyalah alternatif pilihan buat kompatriot Hindu mereka, dan bukan pilihan yang baik juga.
Jadi: Apakah Arvind Kejriwal yang terus menerus menang ini adalah musuh bebuyutan Modi?
Mungkin tidak. Menang di Ibukota (Trump hanya menang 38% di Washington DC pada Pemilu Preisden 2016) adalah bukti bahwa tidak semudah itu untuk menang di sebuah negara.
Orang-orang Delhi juga bisa saja memilih dengan taktis: AAP di daerah yang berorientasi pada
Memang para pemilih di India cenderung memilih melawan petahana dalam level regional: Modi tetap menang di 2019 meski BJP kalah di 6 pemilihan daerah sejak Desember 2018 hingga sekarang.
Sejumlah tokoh-tokoh regional anti-BJP dan Perdana Menteri India: Menteri Utama Delhi Arwind Kejriwal (kiri), Narendra Modi (tengah), Menteri Utama Bengal Barat Mamata Banerjee (kanan).
Cerita "asli" dari parlemen Delhi akan terus menjadi tidak relevan terhadap Kongres.
Untuk menghajar Modi yang otoriter, dibutuhkan pemimpin nasional yang kuat, yang mengkoordinasi pemain-pemain regional anti-BJP – kelompok Kejriwal dan Mamata Banarjees (Menteri Utama di Bengal Barat) pada saat ini.
Begitulah cara Sonia Gandhi mengorbitkan Manmohan Singh menjadi Perdana Menteri di 2004, dengan membuat aliansi bersama kelompok kiri dan partai-partai lokal.
Namun hal ini tidak terjadi di masa anaknya, Rahul. Hingga ada orang yang mau, Juggernaut BJP Modi akan tetap berkaca pada Jaganath, sosok Dewa yang menguasai alam semesta, dan tidak dapat dihentikan.**