Ignas Kleden*)
*) Sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta
KonfLIK horizontal di Indonesia saat ini telah muncul dan meluas dengan tempo yang jauh melampaui kemampuan negara dan kesiapan masyarakat untuk menanganinya. Akibatnya, perhatian publik terpaksa dipusatkan pada konflik yang muncul lebih belakangan, sedangkan konflik yang muncul lebih dulu seolah-olah dianggap selesai atau bahkan dilupakan begitu saja, meskipun kekerasan terus berlangsung dan korban masih saja berguguran.
Kerusuhan di Ambon dan Maluku Tengah, yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun, menjadi kasus yang menguji kemampuan negara untuk memberikan perlindungan kepada warganya dan kemampuan masyarakat sendiri untuk mengatasi konflik yang muncul di antara kelompok sosial yang hidup di dalamnya, dengan menggunakan pranata-pranata sosial yang selama ratusan tahun telah membantu mereka mengatasi konflik dan menyelamatkan mereka dari kehancuran. Pranata sosial setempat saat ini tidak dapat berfungsi maksimal karena terjadi juga pergeseran fungsi akibat perubahan sosial dan politik. Pengelompokan semula berdasarkan pela-gandong kini tergeser dan diganti oleh pengelompokan berdasarkan agama.
Apa yang terlihat saat ini adalah suatu komplikasi yang semakin hari semakin rumit. Pemerintah kita seakan kehabisan akal, sementara untuk mereka yang terlibat di dalamnya, terlihat suatu kondisi psikologis yang ditandai oleh paradoks yang nyata. Di satu pihak, perasaan letih menghadapi konflik dan kekerasan menimbulkan keinginan yang semakin kuat untuk mengakhirinya secepat mungkin. Beberapa informan dan peneliti konflik Ambon mengatakan bahwa perbandingan antara mereka yang menghendaki damai dan mereka yang ingin terus bertempur adalah 80 persen dan 20 persen. Di pihak lain, berlarut-larutnya konflik ini menimbulkan semacam inhibisionisme yang tak teratasi saat ini, berupa penolakan atau keengganan untuk memulai setiap usaha rekonsiliasi, karena ketakutan bahwa usaha seperti itu bakal gagal dan bahkan mendatangkan frustrasi yang lebih besar.
Tentu saja pertentangan psikologis ini berbeda-beda antarkelompok, bergantung pada tingkat kekerasan yang dialami dan panjang-pendeknya periode berlangsungnya konflik. Hal ini menjadi lebih jelas baru-baru ini dalam Dialog Nasional tentang "Pemberdayaan Nilai-Nilai Budaya Lokal untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Masyarakat Maluku Menuju Indonesia Baru" yang diselenggarakan oleh The Go-East Institute, Jakarta, dalam kerja sama dengan Crisis Center Amboina dan Pemerintah Daerah Tingkat I Maluku. Pertemuan itu, yang berlangsung pada 15-18 Maret 2001 di Langgur, Kei Kecil, Maluku Tenggara, berhasil menghimpun lebih dari 1.500 peserta yang berasal dari enam kelompok. Masing-masing berasal dari Kota Madya Ambon, Maluku Utara (Ternate, Tidore), Pulau Buru, Maluku Tenggara (Kei Besar, Kei Kecil, Kepulauan Aru), Maluku Tenggara Barat (Babar, Larat, Lemole, Saumlaki, pulau-pulau terselatan), dan Maluku Tengah (Leihitu, Haruku, Seram).
Terlihat jelas bahwa kegetiran terhadap konflik dan sikap neurotis menghadapi rekonsiliasi amatlah berbeda. Kota Madya Ambon, misalnya, menolak setiap usul untuk rekonsiliasi dan hanya menerima rumusan "penyamaan persepsi tentang usaha menuju rekonsiliasi." Para peserta pertemuan dari kota madya tersebut selalu dihinggapi ketakutan bahwa mereka tidak diberi wewenang apa pun untuk menjalankan usaha rekonsiliasi, sehingga kalau mereka menyepakati dan menandatangani suatu dokumen rekonsiliasi, mungkin saja nyawa mereka sendiri terancam kalau kembali ke rumah. Damai dan rekonsiliasi memang sesuatu yang didambakan, tapi tempatnya "nun jauh di sana, di masa depan," bukan sekarang. Usaha ke arah itu tetap harus dicoba, tapi menganggap bahwa dengan itu rekonsiliasi telah mulai dibangun adalah hal yang sementara ini harus ditolak dengan tegas.
Belajar dari pengalaman Ambon, Pulau Buru, misalnya, yang 59 persen penduduknya adalah pendatang, bersikeras bahwa jabatan-jabatan struktural dalam pemerintahan setempat di pulau tersebut harus dipegang oleh penduduk asli. Sulitnya, penduduk asli di sana relatif lebih lambat pendidikannya dibandingkan dengan pendatang. Penduduk asli di daerah pantai memang mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tapi mereka yang berada di daerah pegunungan hampir semuanya buta huruf. Dapat diduga bahwa opsi ini muncul dari pengalaman bahwa berlarut-larutnya konflik di Ambon lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar dan bukannya dari dalam komunitas Kota Madya Ambon sendiri.
Yang paling terbuka menghadapi usaha rekonsiliasi adalah orang-orang Kei, baik yang hidup di Kei Besar maupun Kei Kecil. Bapak Raja Kei Besar, J.P. Rahail, adalah ahli hukum adat dan juga penulis beberapa buku yang serius tentang masalah tersebut. Dia dapat membanggakan bahwa di tempatnya, yaitu Kei Besar, konflik yang sempat muncul dapat diatasi secara relatif dini. Ketika konflik itu muncul, dengan segera dia mengirim surat kepada 11 desa yang mencakup 46 kampung yang termasuk dalam wilayah kekuasaan adatnya (ratschap). Dalam surat itu, disampaikannya pesan yang jelas, "Menurut adat kita, orang baru berperang kalau dua hal dilanggar: kalau kehormatan kita punya perempuan dilanggar dan kalau tanah kita diambil orang. Sekarang dua perkara itu tidak ada. Jadi kita tidak bisa perang, karena tidak ada sebab dan alasan untuk perang." Pesan itu ternyata efektif. Dan di sana terlihat bahwa tempat ini, yang secara teratur memelihara adatnya dengan mengadakan pertemuan adat setiap tahun (antara Mei dan Juni), terbukti sanggup memakai nilai adat untuk mencegah meluasnya konflik yang sebab-sebabnya dianggap irrelevant kalau orang merujuk kepada peraturan adat.
Memang telah muncul keinginan bahwa segala hal yang berlangsung sampai sekarang harus "diputihkan" dulu sebelum usaha rekonsiliasi dimulai. Beberapa pembicara bahkan merujuk sebuah kebijakan Maluku (persisnya Kei), ken sa vaak, yang berarti "kita semua bersalah, kita semua benar." Namun, pada titik inilah dipertaruhkan kedudukan adat sebagai local genius yang dapat dikontekstualisasi untuk memecahkan masalah yang ada sekarang, atau hanya menjadi semacam pelarian ke masa lampau yang diidealisasi sebagai kunci gaib yang dapat membuka pintu semua persoalan, semata-mata karena orang tidak sanggup lagi mencari jalan keluar di masa kini akibat terbentur pada berbagai dilema. Terhadap usul tersebut, Bapak Raja J.P. Rahail menjawab, "Perkataan ken sa vaak memang ada di dalam kita punya adat. Tetapi adat juga sudah tentukan kapan satu perkataan boleh kita kasih keluar atau harus kita tahan dulu. Sekarang ini negeri kita lagi goyang, dan kelompok-kelompok masih bertikai. Maka, perkataan ini tetap harus kita simpan baik-baik di dalam adat dan baru boleh kita kasih keluar pada waktu yang tepat."
Penyelesaian ala Kei, sekalipun berhasil, tidak selalu dapat diterapkan di tempat lain di Maluku, apalagi di Kota Madya Ambon. Salah satu penyebabnya, tidak semua tempat di Maluku mempunyai penduduk yang secara etnis relatif homogen seperti halnya di Kepulauan Kei. Penyebab lainnya, tidak juga semua tempat di Maluku mempunyai kesadaran tinggi untuk memelihara adat-istiadat mereka sambil memikirkan bentuk-bentuk penyesuaiannya menghadapi masalah baru. Ini juga barangkali sebabnya dalam pertemuan itu diusulkan agar dibentuk suatu lembaga studi dan konsultasi adat di Maluku, yang dapat membantu daerah dan penduduk di tempat-tempat di mana adat-istiadat sudah tidak diperhatikan.
Pada sisi lain, terlihat bahwa selagi keterbukaan kepada rekonsiliasi masih diliputi ketakutan dan keengganan (meskipun didambakan dengan penuh harapan), muncul opsi lain bahwa daripada mempertemukan kelompok-kelompok yang belum cukup bersedia untuk berbicara satu sama lain, bukankah lebih baik memulai saja usaha-usaha rehabilitasi yang lebih praktis dan konkret, yang dapat melibatkan kedua pihak yang berkonflik, tanpa memberi mereka kesempatan untuk terlalu banyak berpikir dan berbicara tentang konflik yang masih menghantui kesadaran mereka. Maka, diusulkan (khususnya oleh peserta Kota Madya Ambon) agar usaha rehabilitasi sebaiknya lebih didahulukan dari usaha rekonsiliasi, sementara rehabilitasi itu dilakukan dengan memanfaatkan lagi pranata-pranata sosial yang masih dikenal. Demikianlah, dapat dipikirkan bahwa perbaikan prasarana umum, pembersihan sampah, dan pengadaan air minum barangkali saja bisa dijalankan dengan menggunakan pranata sosial sasi (semacam bentuk lokal untuk gotong-royong dalam kerja sama ekonomi yang sekaligus memberikan sanksi langsung kepada mereka yang melanggarnya). Demikian pula hancurnya lingkungan (hutan, laut) dapat dicegah, agar tak meluas, dengan menggunakan jasa kewang, yaitu polisi adat yang secara tradisional menjaga hutan dan batas-batasnya.
Masalah yang menakutkan ialah apakah ada jaminan bahwa usaha rehabilitasi ini dapat diamankan, sementara kesediaan untuk rekonsiliasi belum tercipta secara mantap. Siapa yang dapat menjamin bahwa setelah prasarana-prasarana ini direhabilitasi, semuanya tidak lagi dihancurkan dalam sekejap mata kalau muncul konflik dan kekerasan baru?
Konflik Ambon kini menjadi lebih berat karena munculnya aspirasi baru mengenai pembagian wilayah. Seluruh Kepulauan Maluku sekarang terbagi dalam dua provinsi, yaitu Maluku Utara dan Maluku. Provinsi Maluku sendiri mencakup Maluku Tengah, Maluku Tenggara Barat, dan Maluku Tenggara. Dalam pertemuan itu muncul usul agar Maluku Tenggara Barat ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten tersendiri, sedangkan Maluku Tenggara menjadi provinsi sendiri. Usul ini jelas ditolak oleh peserta dari Kota Madya Ambon dan Maluku Tengah. Seorang pembicara dari Kota Madya Ambon dengan metafora yang sangat mengharukan angkat bicara, "Saya berasal dari Kota Madya Ambon. Bapak saya dari Saparua. Ibu saya dari Tanimbar (Maluku Tenggara). Sekarang rumah bapak saya lagi rusuh, sedangkan rumah ibu saya tenang. Saya datang ke rumah Ibu dan bertanya, 'Ibu, bagaimana Ibu bisa jaga rumah Ibu begitu tenang, dan apakah Ibu dapat bantu bikin tenang rumah Bapak yang lagi rusuh?' Ibu saya bilang, 'Saya cerai kau punya bapak'." Metafora itu mengungkapkan kegundahan orang Ambon dan Maluku Tengah bahwa pada saat mereka dilanda konflik, saudara-saudaranya malah berpikir untuk meninggalkan mereka sendiri bagaikan anak tunggal tanpa saudara.
Konflik di Ambon pada mulanya adalah konflik antara dua kelompok agama. Dalam keadaan sekarang, dia mendapatkan komplikasi baru dengan adanya aspirasi untuk provinsi baru, yang berarti keterpisahan antarteritorial. Dan pada akhirnya, konflik ini sekarang telah menjadi sangat berat karena, bukannya berbicara tentang penyelesaian konflik, orang malah terlibat dalam konflik yang tak kurang-kurang panasnya tentang bentuk, cara, dan substansi penyelesaian konflik (conflict on conflict resolution).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini