Daniel S. Lev*)
*) Pakar politik Indonesia, tinggal di Seattle, AS
PERDEBATAN tentang sidang istimewa saat ini menimbulkan nuansa yang menarik, aneh, ada juga yang agak mengejutkan, atau setidaknya mencemaskan. Hal yang menarik adalah pertaruhan di antara berbagai pandangan yang berbeda?yang sering berat sebelah?tentang kedudukan hukum sidang istimewa itu sendiri, semacam debat konstitusional tentang hubungan antara parlemen dan kepresidenan. Pertentangan semacam ini, yang sering terjadi dalam sejarah republik di banyak negara, sebenarnya cukup penting. Hanya, yang agak aneh, perdebatan ini berlandaskan suatu konstitusi yang mengandung banyak kekurangan dan mungkin lebih baik diganti dengan UUD baru yang lebih bermutu. Tapi, tampaknya, hal itu tidak dianggap penting oleh mereka yang terlibat dalam perdebatan sidang istimewa.
Namun, yang mencemaskan, perdebatan ini hampir tidak pernah menyentuh masalah yang substansial, yaitu relevansinya untuk keperluan masyarakat Indonesia. Di satu pihak, secara implisit tentu ada asumsi bahwa penggantian presiden akan sangat menolong keadaan, tapi sungguh tidak masuk akal bahwa hanya seorang presiden, satu orang saja, bisa amat berpengaruh. Soal ini memperlihatkan salah satu di antara sekian banyak kelemahan sistem presidensial, yang memfokuskan perhatian pada satu orang, padahal faktanya sistem politik terdiri atas banyak lembaga. Perdebatan mengenai sidang istimewa tampaknya melupakan lembaga lain di luar kepresidenan. Kalaupun nantinya Abdurrahman Wahid diganti, masalah DPR, MPR, pengadilan, kejaksaan, polisi, TNI, birokrasi umum, dan lain-lain masih ada dan tetap menghalangi jalannya reformasi.
Demonstrasi dan counter-demonstrasi, perkelahian antara pengikut partai ini dan itu, juga antarmahasiswa, dan adanya demonstran bayaran cukup memberikan indikasi bahwa yang terjadi sekarang bukanlah perdebatan serius mengenai isu konstitusional atau kelembagaan negara, melainkan konflik politik yang sempit. Apakah adanya sidang istimewa bergantung pada MPR atau DPR, apakah Abdurrahman diganti atau tidak, bukan lagi sesuatu yang sangat berarti dari sudut kepentingan Indonesia sebagai negara atau bagi suatu masyarakat yang sudah menderita selama 40 tahun.
Seandainya soal sidang istimewa itu merupakan perdebatan mengenai konstitusi, mungkin saja ada gunanya. Tapi perdebatan yang terjadi sekarang hanya mencerminkan realitas bahwa belum banyak pemimpin di pemerintah yang mempertimbangkan perlunya suatu konstitusi baru yang bisa melayani negara sekompleks Indonesia. Amandemen yang dibuat dalam situasi ketegangan politik yang hebat tentu akan terbatas sekali fungsinya karena tidak berasal dari pemikiran dan pertimbangan mendalam.
Perdebatan tentang kedudukan seorang presiden jelas bukan suatu hal yang sepele. Dan perdebatan seperti itu dalam kondisi Indonesia yang gonjang-ganjing sejak dua tahun lalu hanya masuk akal bila para pemimpin politik sudah siap memikirkan kembali struktur kekuasaan dan kelembagaan secara konstitusional. Sampai sekarang, syarat itu belum terlihat. Yang juga tak terlihat dalam perdebatan sekarang adalah adanya bukti bahwa elite politik mampu mendorong reformasi fundamental atau bisa mengelak dari perseteruan di antara unsur kalangan pemimpin sendiri. Akibatnya, masyarakat yang mengharapkan perubahan dari pemerintah?bukan hanya presiden, tapi juga DPR, MPR, dan partai-partai besar?malah makin jengkel, sinis, dan putus asa. Akibat pertentangan sempit di antara pemimpin yang hanya berorientasi jangka pendek, kepercayaan kepada pemerintah baik di dalam maupun di luar negeri hilang.
Konflik di antara pemimpin politik sebenarnya sah-sah saja, tapi para elite politik yang cukup profesional dan bertanggung jawab yang sedang menghadapi krisis nasional seharusnya bisa mengesampingkan perseteruannya dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Mereka semestinya bisa mengorbankan kepentingan sempit?kepentingan pribadi atau kepartaian atau keluarga atau grup apa saja?agar dapat melayani kepentingan luas masyarakat dan negara. Perdebatan tentang kedudukan presiden saat ini tidak memperlihatkan kepedulian atas kepentingan yang luas itu. Dan bisa dipertanyakan, apakah pada akhirnya, kalau Abdurrahman diganti, persoalan-persoalan yang paling pokok akan selesai, atau apakah pergolakan akan terus berlangsung, justru karena belum ada penyele-saian keguncangan di antara kalangan pemimpin sendiri.
Indonesia bukan suatu negara yang kecil yang gampang diurus. Selalu akan ada kesulitan sosial dan politik yang ruwet. Masyarakat Indonesia berhak atas suatu pemerintah yang sebanyak mungkin berorientasi pada keperluan rakyat. Sejak akhir 1950-an, pemerintah, termasuk hampir semua lembaganya, makin berorientasi pada diri sendiri. Rekonstruksi lembaga-lembaga itu akan makan waktu banyak dan bergantung sekali pada kemampuan suatu elite politik dalam menentukan prioritas. Dalam perspektif ini, yaitu keperluan atas prioritas pekerjaan politik pada zaman yang penuh krisis politik, ekonomi, dan sosial, pembunuhan, konflik etnis dan agama, korupsi, tekanan internasional, kejengkelan rakyat, serta kesengsaraan di mana-mana, perdebatan tentang kedudukan seorang presiden jelas kurang meyakinkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini