Prostitusi merambah ke dunia kampus adalah hal yang biasa. Itu sudah lama terjadi di Indonesia. Majalah Matra pernah mengangkat masalah ini dalam laporan utama pada tahun 1991. Kemudian TEMPO, 13 November 1993, mengetengahkan masalah itu dalam Laporan Utama-nya. Tampaknya, dari sekian artikel tentang bisnis prostitusi, artikel "Ayam Kampus"(TEMPO, 13 November, Laporan Utama) paling menarik perhatian saya karena "keberanian" laporan itu, istilah metode acak dalam penelitian ini, dan kelemahan metodologi. Penelitian terhadap prostitusi adalah penelitian yang berisiko sangat tinggi bagi peneliti, aparat, dan warga di lokasi penelitian itu. Bagi peneliti, bukan hanya risiko tinggi, tapi juga kerja keras untuk membuktikan bahwa mahasiswi yang diduga sebagai pelacur memang benar-benar ayam kampus. Untuk membuktikan seorang mahasiswi benar-benar ayam kampus adalah sangat sulit. Itu membutuhkan waktu lama. Seperti dalam tulisan itu dijelaskan, "sampai menguntit...." Dari kuntit-menguntit ini timbul pertanyaan dalam pikiran saya,berapa orang yang dikuntit. Apakah sudah dilakukan cek dan cek ulang? Di tulisan itu juga disebutkan, "kami malah mendapatkan informasi dari beberapa dosen". Bagaimana para dosen sampai pada kesimpulan itu? Apakah dosen-dosen itu pernah "memakainya"? Atau, hanya kesimpulan cerita dari mulut ke mulut? Saya khawatir, kalau-kalau sampel penguntitan hanya dilakukan pada tiga atau lima orang, ditambah dengan keterangan sana-sini, lalu ditarik suatu kesimpulan. Metode pengambilan sampel seperti ini disebut metode acak random. Semoga tidak demikianlah. Sebab, kalau itu yang dilakukan, lebih tepat disebut metode acak-acakan. Setahu saya, untuk melakukan metode acak random diperlukan beberapa prosedur tertentu. Jika dilakukan pengumpulan pendapat lewat angket, apakah validitas dan reliabilitasnya sudah diukur? Peneliti mengakui bahwa metode penelitiannya masih payah. Tapi mengapa sampai berani menyebutkan bahwa fakultas X sebagai pemasok ayam kampus terbesar lengkap dengan angkanya? Yang paham metodologi penelitian tentu akan menganggap penelitian itu tak ada maknanya. Tapi, bagaimana dengan orang tua yang tidak mengerti penelitian dan punya anak wanita kuliah di fakultas X tersebut? Karena itu, perlu hati-hati dalam mempublikasikan karya penelitian. Apalagi karya itu kurang didukung oleh syarat-syarat penelitian yang baik. Upaya menyamarkan nama si ayam kampus perlu dihargai. Alangkah lebih baik jika fakultas tempat belajar si ayam kampus juga disamarkan. Namun, saya tetap salut atas dilakukannya penelitian berisiko tinggi ini karena memang tidak banyak orang yang melakukannya. Semoga di lain kesempatan dipersiapkan secara lebih matang.KOENTJOROSchool of Behavioural Sciences La Trobe University Bundoora, Victoria 3083, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini