KINI, kaum demonstran mesti hati-hati dengan pasal-pasal hukum. Sebab, setiap saat, secara legal pula, mereka bisa dihukum. Itulah "trend" yang dialami para demonstran -- terutama setelah Kopkamtib digantikan oleh Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional alias Bakorstanas, 1988. Hampir semua mahasiswa yang melancarkan unjuk rasa, mimbar bebas, atau sejenisnya -- kalau toh perlu ditindak -- dijerat dengan pasal-pasal yang ada. Ada yang kena haatzaai artikelen (penyebar kebencian), penghinaan, mengancam keamanan negara, mengganggu ketertiban umum, atau paling berat subversi. Tentu, ada yang ekstra ringan, yakni dibiarkan saja alias bebas. Memang, setelah pola penanganannya berdasarkan hukum itu, tak ada lagi demonstran yang ditahan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa tuduhan yang jelas seperti di masa lalu. Walau kenyataanya sebenarnya tak terlalu beda. Bahwa, bilamana perlu, setiap saat orang yang melakukan unjuk rasa bisa ditahan dengan pasal apa saja. Ambil contoh kejadian bulan ini. Sedikitnya ada tiga demo yang isinya serupa. Nuku Soleiman, yang menyebarkan stiker pelesetan singkatan SDSB, dikenai pasal penghinaan bagi kepala negara. Pasal serupa dikenakan buat 21 mahasiswa se-Jawa yang menuntut pembebasan Nuku dan menggelar mimbar bebas di gedung DPR/MPR bulan lalu. Dan terakhir, sekitar 20 mahasiswa berdemo ke DPR dengan tema hampir serupa tapi dihukum denda cuma Rp 10.000 atau 2 hari penjara -- tak ubahnya seperti melanggar rambu lalu lintas. Sementara itu, sebelumnya ada sejumlah demonstran yang terkena pasal-pasal subversi atau penyebaran kebencian, hingga dikenai hukuman seumur hidup atau belasan tahun. Bertolak dari beragam hukuman bagi demonstran itulah Laporan Utama pendek ini ditulis. Bagian Demo Sama, Hukuman yang Berbeda memaparkan beragam hukuman yang dijatuhkan bagi demonstran. Bagian ini juga mengangkat pendapat yang pro dan kontra atas pasal hukum yang dipilih buat para demonstran -- yang terkesan "seenaknya". Walau ada sederet ancaman hukuman, toh hal itu tak membuat para mahasiswa dan pemuda gentar. Demo dianggap bagian dari kegiatan kaum muda, rupanya. Berdemo Tapi Bukan Kerbau menampilkan sosok sebuah yayasan yang giat menyelenggarakan demonstrasi. Mulai dari soal tanah, SDSB, sampai masalah politik yang berskala nasional. Demo boleh jadi tak lagi harus dianalisa siapa yang berdiri di baliknya. Sebab demo, bagi anak muda, mungkin sekadar mode. Dan bagian ini dilengkapi dengan boks: LSM Pilihan Hidup Saya, sebuah wawancara dengan Nuku, tokoh di balik yayasan "biro demo" itu. Demonstrasi memang bisa dilihat dengan kaca mata pasal-pasal hukum. Tapi, demonstrasi juga tak lepas dari perannya sebagai alat politik. Maka, tidaklah terlalu jauh bila penggunaan pasal-pasal hukum itu tak lepas pula dari kaca mata politik. Tergantung bagaimana melihatnya.A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini