Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demo sama, hukuman yang berbeda

Banyak ragam pasal dipakai untuk menjerat para demonstran. ada yang terkena pasal bebas, melanggar ketertiban umum, subversi, haatzaai artikelen, atau penghinaan. pasal-pasal legal pun diwarnai kepentingan politik?

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah pentas peradilan yang unik buat para demonstran Rabu pekan lalu. Tempatnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Enam orang yang ditangkap ketika melancarkan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR 4 Januari lalu duduk sebagai tersangka. Tak ada kesan sebagai persidangan politik. Hakim yang mengadili pun cuma seorang alias tunggal. Begitu pula pembelanya. Hakim main comot, menunjuk para penasihat hukum dari pos bantuan hukum (Posbakum) yang kebetulan hadir menonton sidang hari itu. Lihat saja proses peradilannya. Hakim Prasanca, misalnya, secara agak bergurau dan santai membuka sidang untuk terdakwa Satya Dharma Sembiring: "Hakim tak pernah menahan orang." Lalu, seperti biasanya ia memeriksa tersangka, sampai ke pertanyaan menggiring tersangka: "Tahukah apa kesalahan Saudara?" Demonstran Sembiring yang tampak tegang menjawab: "Tidak tahu, Pak." Lantas Hakim Prasanca pun menjelaskan tuduhan yang ditimpakan kepada tersangka. "Saudara diadili karena melakukan demonstrasi tanpa izin yang berwajib." Maka, terdakwa pun menjelaskan: "Kami ingin berdialog dengan Ketua DPR/MPR Wahono, tapi tak diterima. Saya pikir, DPR itu kan wakil rakyat." Maka, hakim pun meyakinkan kesalahan yang didakwakan pada Sembiring: "Tapi kan ada aturan mainnya. Menurut Pasal 510 KUHP, untuk menyelenggarakan keramaian untuk umum harus seizin polisi atau pejabat yang ditunjuk. Pesta pernikahan saja perlu izin. Jadi, kesalahan Saudara, karena tidak disertai surat izin dari polisi itu." Tanpa perlu waktu berpanjang-panjang, setelah mendengarkan saksi polisi, seorang satpam Gedung DPR, dan memeriksa bukti- bukti berupa poster, hakim pun mengetukkan palu menghukum demonstran itu: harus membayar denda Rp 10.000 atau kurungan 2 hari. Terdakwa pun kelihatan senyum-senyum. Begitu pula nasib terdakwa yang lain. Persidangan berjalan lancar-lancar saja. Mirip pengadilan pelanggaran rambu lalu lintas. Sebab, sehabis sidang, semua demonstran yang diadili memilih membayar denda ketimbang berdebat atau naik banding. Apalagi masuk bui. Bagaimana para demonstran itu membayar denda? Rupanya, ada yang tak membawa duit. Ada yang minta atau meminjamnya dari pengunjung sidang. Malah terdakwa Bambang Beathors Soeryadi, yang juga dikenal sebagai salah seorang pendiri LSM Pijar yang suka menggelar demonstrasi untuk berbagai topik, tak segan- segan minta duit ke Mayor Charles Marpaung, Kasatserse Polres Jakarta Pusat, yang menggiring mereka ke pengadilan. "Minta uang dong, Pak. Masak, saya harus ditahan dua hari lagi," kata Beathors. Tapi Mayor Charles cuma senyum-senyum. Inilah adegan persidangan kilat kaum demonstran yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda. Mereka dianggap sekadar mengganggu ketertiban di depan gerbang Gedung DPR. Maklum, sebelum berhasil menggelar demo, mereka sudah dihadang aparat keamanan di depan pintu. Ada 20-an demonstran yang ingin menemui pimpinan DPR. Mereka yang tergabung dalam Front Aksi Pemuda Indonesia (FAPI) ini, selain menuntut agar 21 orang temannya yang ditahan -- juga karena demonstrasi -- segera dibebaskan, juga meminta supaya DPR mengundang sidang istimewa untuk pertanggungjawaban kasus Nipah, Haur Koneng, dan Tanjungpriok. Di pintu masuk Gedung DPR itu mereka juga sempat menggelar sejumlah poster. Misalnya, "Bebaskan kawan kami", "Minta tanggung jawab bukan penghinaan". Kawan yang mereka maksud dalam poster tentu termasuk Nuku Soleiman, Ketua Pijar, yang ditangkap akhir November lalu. Ia bersama teman-temannya melakukan aksi unjuk rasa anti SDSB ketika Menteri Sosial Inten Soeweno tengah melakukan rapat kerja dengan Komisi VIII DPR menjelang penutupan SDSB. Dalam kesempatan menunggu keputusan Pemerintah itu, Nuku, yang tergabung dalam Komite Solidaritas Mahasiswa Islam, mengedarkan sejumlah stiker bertuliskan pelesetan kepanjangan SDSB, yang isinya bisa dinilai menghina Kepala Negara. Akibatnya, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta itu ditangkap, ditahan, dan Kamis pekan ini disidangkan. Nuku digaet dengan Pasal 134 KUHP alias penghinaan terhadap kepala negara. Ia diancam hukuman penjara 6 tahun. Nasib serupa bakal dialami 21 pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Islam (FAMI). Demonstran dari berbagai perguruan tinggi se-Jawa itu melakukan unjuk rasa pertengahan Desember lalu. Selain menuntut agar Nuku dibebaskan, mereka juga menggelar acara mimbar bebas di lobi Gedung DPR. Repotnya, dalam acara panggung bebas itu mereka melempar kata-kata kasar buat Kepala Negara. Bahkan, kalau ada anggota DPR yang kebetulan lewat, mereka pun meneriaki, "Hai, apa kerjamu, DPR...?" Maka, aparat keamanan pun segera diturunkan. Para demonstran itu dilarang berteriak-teriak. Mereka digiring, diangkut ke kantor polisi. Beberapa sempat kena pentung. Mereka, yang 21 mahasiswa se-Jawa ini -- termasuk di antaranya dua mahasiswi -- ditahan dan dipastikan akan diadili, seperti Nuku. Menurut seorang perwira tinggi, Nuku dan 21 mahasiswa itu ditangkap dan diadili karena sudah kelewatan. "Brutal," katanya. Mungkin yang dimaksud, isi poster dan ucapan mereka telah "kelewat batas". Menghadapi demonstran yang mengeras itu, Panglima Kodam Jaya Mayjen Hendropriyono bersikap lain ketimbang terhadap pengunjuk rasa SDSB. Perilaku mereka dinilai sudah melewati kewajaran. "Kami pun menganggapnya sebagai pelanggaran hukum," kata Ketua Bakorstanasda Jaya ini. Maka, mereka diseret ke pengadilan. Maksudnya, mungkin, agar pengadilanlah yang menetapkan apakah mereka itu bersalah atau tidak, melakukan penghinaan atau bukan. Untuk yang sudah dihukum ringan seperti Beathors Soeryadi dan kawan-kawannya, kata Hendro, yang paling penting mereka ketahui bahwa perbuatannya terbukti salah. "Nah, kalau sudah tahu salah, ya, jangan diulangi," katanya kepada A. Kukuh Karsadi dari TEMPO. Memang, kalau ditilik, sejarah demonstran sejak tak ada Kopkamtib memang berbeda. Pemerintah menindaknya selalu secara legal. Aparat keamanan tak main tangkap dan tahan berbulan- bulan -- bahkan tahunan tanpa tuduhan yang jelas seperti sebelumnya. Begitu diperiksa, para demonstran telah disodori pasal-pasal yang menjeratnya. Cuma, rupanya demonstrasi boleh sama, tapi hukumannya yang berbeda. Ada yang bebas sama sekali. Misalnya para demonstran SDSB. Dari rangkaian unjuk rasa menentang peredaran undian berhadiah semiliar rupiah itu, tak ada yang ditindak -- walau ada yang mengganggu ketertiban umum seperti merusak toko, kendaraan, atau memacetkan jalan. Bahkan, poster mereka pun kadang tampil galak -- ada yang memaki pejabat. Sekelompok pemuda yang datang ke depan Istana Negara, misalnya, sempat memasang poster bertuliskan kira-kira: "Kalau pemimpin tak bisa membubarkan SDSB, akan kami lawan". Tapi ada pula yang berdemonstrasi "sejuk" seperti yang dilakukan sekitar 200 ulama se-Jabotabek di DPR bulan November lalu, menentang SDSB. Mereka melakukan doa di depan Gedung DPR. "Mereka ini memakai unjuk rasa sebagai alat, bukan tujuan seperti 21 mahasiswa itu," kata seorang perwira tinggi di Mabes ABRI. Maka, semua dinilai aman-aman saja sehingga tak perlu ada yang ditindak. Juga teman-teman Beathors Soeryadi, atau demonstran "berdenda" Rp 10.000 itu. Ada 14 orang peserta demo yang dibebaskan setelah dinasihati oleh Kepala Polres Jakarta Pusat, Letkol Pol. Dadang Garnida. "Habis, mereka tak tahu apa yang mereka perjuangkan," kata seorang perwira tinggi di Mabes ABRI. Ia mengambil contoh tuntutan mereka "Bebaskan kawan kami". Setelah diperiksa dan ditanyai, ternyata sebagian besar demonstran "berdenda" itu tak kenal seorang pun dari 21 mahasiswa yang mereka tuntut untuk dibebaskan. Namun, yang dibui karena demonstrasi pun tak sedikit. Ambil contoh Gregorio da Cunha. Di persidangan ia dituduh sebagai perencana dan penggerak demonstrasi yang berpuncak pada peristiwa Santa Cruz, Dili, 12 November 1991, yang mengakibatkan puluhan korban tewas. Gregorio dituduh menggerakkan massa ke pusara Sebastio Gomes -- pemuda yang disebut-sebut tewas akibat bentrokan antara dua kelompok pemuda yang pro dan anti integrasi Timor Timur. Pasal yang dipakai untuk menjerat Gregorio sebagai demonstran adalah undang-undang anti subversi. Maka, Gregorio dihukum seumur hidup. Pasal yang sama juga ditimpakan pada Joao Freitas da Camara. Ia berdemonstrasi di Jakarta setelah terjadi peristiwa Santa Cruz 12 November 1991. Joao dan sejumlah temannya -- mahasiswa asal Tim-Tim -- berdemo dan mengirim surat ke Presiden AS George Bush agar Timor Timur dibebaskan. Maka, penjara 8 tahun hadiahnya. Sama halnya enam mahasiswa ITB yang berunjuk rasa menyambut Menteri Rudini, ketika hendak memberikan ceramah dalam penataran P4 mahasiswa baru di Kampus Ganesha pada 5 Agustus 1989. Akibat perbuatan Jumhur Hidayat, Fadjroel Rahman, dan Arnold Purba bersama teman-temannya menggelar poster, membakar ban, mereka dijatuhi hukuman 2 hingga 3 tahun penjara -- bahkan sempat di-Nusakambangan-kan segala. Sedangkan Lukas Luwarso dan Poltak Ike Wibowo, yang menyelenggarakan mimbar bebas mengkritik pelaksanaan pemilu di kampus Universitas Diponegoro Semarang, 20 Mei 1992, dikenai pasal haatzaai artikelen (menyebarkan kebencian) dengan ancaman hukuman 7 tahun (TEMPO, 17 Juli 1993). Masih ada beberapa lagi demonstran yang dijerat dengan berbagai pasal yang berbeda dan beragam hukumannya. Tentu, penerapan pasal yang terkesan "dipungut" menurut kebutuhan sesaat itu mengundang berbagai pendapat. Pasal 510 KUHP tentang pelanggaran ketertiban umum, misalnya, sudah lama tak dipakai oleh para hakim. Maka, Adnan Buyung Nasution, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menilai penerapan pasal itu bisa menghambat pertumbuhan demokrasi. "Bila pasal 510 diterapkan lagi, nantinya tak akan ada lagi petani atau buruh yang ramai-ramai mengadukan nasibnya ke DPR," katanya. Demikian pula penerapan pasal penghinaan terhadap Kepala Negara buat Nuku dan 21 mahasiswa se-Jawa itu. Menurut Loebby Loqman, doktor hukum pidana dari Universitas Indonesia, sebenarnya tak gampang untuk membuktikan kasus penghinaan. "Perlu batasan-batasan tertentu tentang pengertian penghinaan terhadap presiden itu seperti apa, supaya tidak rancu," katanya. Walau ada pasal-pasal yang bisa digunakan untuk menjerat demonstrasi, Loebby cenderung lebih melihat substansi permasalahannya. Sebab, katanya, ada yang dituduh menghina kepala negara, mengancam keamanan negara, dan ada yang dianggap sekadar melanggar ketertiban umum. Kalau ketahuan substansinya, akan jelas apakah kasus itu termasuk pidana biasa atau delik politik. Maka, Loebby pun mengusulkan adanya tempat bagi mereka yang punya beda pendapat dengan Pemerintah untuk mengutarakan pendapat. Namun, ia toh khawatir masih ada jerat lain, yakni haatzaai artikelen, yang juga sering dipakai. Dan Amien Rais, ahli ilmu politik dari UGM, juga sependapat bahwa demonstrasi hendaknya menjadi hak setiap warga negara. Amien menyebutkan, tindakan berdemo -- tentunya termasuk Nuku dan kawan-kawan di DPR -- adalah legal dan konstitusional. Bahwa keluar kata-kata kasar, katanya, itu sekadar ekspresi kefrustrasian mereka untuk mencari perhatian. "Dulu, di zaman Orde Lama, orang bisa berteriak-teriak 'Bandrio Anjing Peking', juga tak diadili," katanya. Dari DPR datang komentar dari Sabam Sirait. Anggota Fraksi PDI ini kebetulan hadir di mimbar bebas yang digelar 21 mahasiswa itu. "Datang ke DPR itu sudah benar. Kan ini gedung rakyat. Kami pun sudah mengirim surat ke pimpinan DPR agar kasus itu ditangani secara objektif." Dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang dipimpin Wakil Ketua Marzuki Darusman, pun sempat menemui para demonstran yang ditahan di Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat, 4 Januari lalu. "Kami pikir sudah tepat mereka diperlakukan seperti tahanan yang lain," kata Marzuki Darusman. Suara agak lain mengenai bagaimana menangani kaum demonstran datang dari Fraksi ABRI. Ketua Fraksi, Abu Hartono, berpendapat bahwa demonstran itu sudah melanggar etika. Lagi pula, kata Abu, ia ragu apakah mereka tahu tata cara meminta pertanggungjawaban presiden. Kalau misalnya seorang presiden dianggap melanggar GBHN, maka DPR menanyakan pada presiden. Kalau tiga kali tak dijawab, "Baru kami minta pertanggungjawabannya," katanya. Maksudnya, tentu sidang istimewa itu tak bisa diadakan seenaknya.Agus Basri, Andi Reza Rohadian, Bambang Soejatmoko (Jakarta), dan Heddy Lugito (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus