Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di balik sikap tegas pemerintah DKI Jakarta melarang mobil sewaan berbasis aplikasi Uber, ada kegamangan yang sulit disamarkan. Ini terjadi karena Jakarta belum punya perangkat hukum memadai untuk mengatur bisnis aplikasi—yang memang tak mengenal batas negara itu. Jangankan peraturan daerah, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pun tak mengatur detail penggunaan aplikasi tertentu untuk kepentingan bisnis.
Pelarangan mobil Uber yang dipaksakan pun terbukti tak efektif. Meski diancam razia dan penyitaan mobil, bisnis ini tetap berderap. Bila data dari pihak Uber bisa dipercaya, di Jakarta saja sudah ada sekitar 6.000 mobil yang memakai aplikasinya. Kini, ketika razia digencarkan, sopir Uber terus melayani antar-jemput penumpang. Pada saat yang sama, pelanggan taksi konvensional yang beralih memakai layanan Uber pun kian banyak.
Pemerintah DKI semestinya tak begitu saja menyatakan layanan mobil Uber ilegal—dengan dalih perusahaan yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, itu belum punya perwakilan dan belum mengurus izin transportasi di Jakarta. Tuduhan itu mudah dipatahkan pihak Uber, yang menyebut hanya berbisnis aplikasi, bukan bisnis transportasi. Apalagi tak ada aturan yang tegas-tegas melarang layanan penyewaan mobil pelat hitam. Malah undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri di bidang transportasi masih memberi celah bagi hidupnya layanan penyewaan mobil semacam Uber.
Argumen pemerintah bahwa layanan Uber tak bisa dikenai pajak pun tak kuat. Di Indonesia, Uber hanya bekerja sama dengan perusahaan rental mobil atau koperasi angkutan yang mengantongi izin. Kalaupun pemerintah tak bisa mengenakan pajak atas komisi yang diterima Uber, perusahaan rental dan koperasi di Jakarta jelas bisa dipajaki. Tinggal dibuat sistem agar perusahaan rental dan koperasi itu tak berbohong ketika melaporkan kewajiban pajaknya.
Pelarangan terhadap Uber juga tak punya dasar kuat karena aturan main usaha penyewaan mobil pun tak terang-benderang. Selama ini, perusahaan rental mobil hanya mengantongi izin usaha dari Kementerian Perdagangan. Pengawasan atas kelaikan kendaraan serta berapa persisnya penghasilannya sangat kurang. Di Jakarta, menurut Dinas Perhubungan DKI, hanya enam perusahaan mobil rental yang legal atau memiliki izin lengkap. Jika perizinan Uber dipersoalkan, seharusnya ratusan perusahaan rental mobil yang bertebaran di Ibu Kota dipersoalkan juga.
Bagi perusahaan taksi lama, kehadiran mobil Uber semestinya tak melulu dianggap ancaman. Menjadikan Uber sebagai tantangan justru lebih positif. Setelah sekian lama menikmati hak istimewa izin operasi—kini Jakarta tertutup untuk perusahaan taksi baru—mereka semestinya terus berinovasi meningkatkan layanan. Hanya persaingan sehat yang akan membuat mereka lebih besar. Pemerintah berkewajiban menciptakan lapangan bisnis yang adil bagi semua pelaku usaha transportasi, sembari memastikan konsumen memperoleh layanan terbaik dengan biaya yang masuk akal.
Belajar pada banyak kasus bentrok antara pengemudi ojek berbasis aplikasi dan pengemudi ojek biasa, pemerintah tak boleh menutup mata atas kemungkinan marahnya sebagian sopir taksi yang kalah bersaing dengan layanan Uber. Ketimbang menguber-uber sopir Uber yang belum jelas kesalahannya, aparat lebih baik berfokus mencegah kemungkinan gesekan antarsopir, yang bisa berujung anarki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo