Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa Formal Percakapan

Bahasa Formal Percakapan

28 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa Formal Percakapan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagja Hidayat*

Seorang teman dari Jerman terheran-heran terhadap cara orang Indonesia memanggil pelayan restoran. Ketika tinggal di Jakarta selama dua bulan beberapa tahun lalu, ia dan temannya makan siang di sebuah warung makan Padang. Selesai makan, orang Jakarta itu memanggil pelayan dengan melambaikan tangan dan berkata, ”Mbak, minta bon.”

Bagi teman dari Jerman ini, cara temannya memanggil pelayan itu tidak sopan. ”Hei, dia bukan anjingmu,” katanya, menceritakan peristiwa itu. Kali ini, giliran si teman Jakarta yang melotot. Tentu saja, dia tak bermaksud memperlakukan orang lain sebagai binatang. Apalagi di restoran. ”Di Indonesia, ini cara yang sangat sopan,” ujarnya, seperti dikutip teman Jerman ini. Bingung oleh jawaban itu, ia bertanya, ”Kalian tidak bisa mengawalinya dengan ’excuse me’ atau kalimat lain yang menandakan lebih sopan?”

Dalam bahasa Indonesia, excuse me punya padanan semacam ”permisi” atau ”maaf”. Jadi panggilan kepada pelayan itu selengkapnya adalah, ”Permisi, Mbak, bolehkah saya minta bon?” ”Tapi, hei, bahasa tidak saja melalui lisan, tapi juga bahasa tubuh dan intonasi,” orang Indonesia itu mencoba bertahan dengan memberikan argumen, yang agak panjang. Saya coba uraikan dan analisis karena saya baru sadar juga ternyata bahasa kita memang tak punya format baku dalam percakapan.

Orang Jakarta itu bisa benar karena bahasa, sebagai alat komunikasi, bukan sekadar yang terucap dalam lisan. Bahkan bahasa lisan pun mengalami peluluhan karena diasah dan dipakai secara terus-menerus oleh para penuturnya. Sudah menjadi hal yang biasa, manusia menemukan bahasa-bahasa percakapan, alih-alih bahasa formal yang tegar, agar komunikasi lebih lancar dan tepat sasaran. Penyingkatan-penyingkatan kalimat, seperti dalam panggilan kepada pelayan itu, menjadi tak terhindarkan. Sopan santun menambahkan bobot dalam tata krama berbahasa itu lewat intonasi, bahasa tubuh, gestur.

Tiga kata panggilan kepada pelayan itu bahkan menjadi berbeda ”rasanya” ketika dituliskan. Dalam pelisanannya, pelayan yang dipanggil itu tetap merasa dihargai karena pemanggilnya melambaikan tangan seraya tersenyum, merendahkan kata ”bon”, melambaikan tangan seperti lambaian dalam pertemuan dua karib yang lama berpisah. Intinya, ada banyak perangkat lain pendukung sebuah kata ketika diucapkan.

Itu seperti orang Italia yang memakai tangan, gerak mata, bahkan bibir untuk menekankan sebuah kata ketika berbicara. Di Myanmar, pengunjung kafe bahkan memanggil pelayan dengan bunyi mulut ”ckckck”, yang dipakai orang Indonesia ketika memanggil kucing, ayam, atau burung. Toh, di sana, memanggil dengan cara seperti itu tetap sopan karena sudah menjadi kebiasaan. ”Coba, cara seperti itu dipakai di Jerman,” kata kawan itu. ”Kalian akan berakhir dengan gelut.”

Bahasa adalah bagian dari perkembangan budaya. Orang Indonesia tak terbiasa memakai struktur bahasa tulis ketika berbicara. Bahasa lisan orang Indonesia punya strukturnya sendiri, yang tak lengkap, acap melenceng dari struktur baku, bahkan tak jelas subyek dan obyeknya. Orang Flores bisa mengajak makan secara sopan kepada tamunya dengan mengatakan, ”Makan sudah.” Bagi orang dari suku lain, kalimat sepotong dengan intonasi yang khas itu tak jelas benar apakah sebuah pertanyaan atau suruhan.

Sewaktu melakukan penelitian tentang repong damar di Krui, Lampung Barat, saya tinggal di rumah seorang keturunan Raja Suku Semendo di sana. Makanan sarapan selalu ada dua jenis: nasi dan tempoyak--semacam saus durian. Setiap kali hampir selesai makan, tuan rumah selalu berteriak, ”Tambah!” Tanpa menimbang logat dan kebiasaan-kebiasaan orang Krui, kita akan menyimpulkan bahwa ajakan dan permintaan tersebut sebuah bentakan.

Budaya dan kebiasaan-kebiasaan itulah yang mempengaruhi cara kita berbahasa. Orang Jepang selalu mengatakan sumimasen (maaf) tiap kali hendak mengatakan sesuatu dan mengakhirinya dengan arigato gozaimasu (terima kasih) dan haik (ya). Tiga kata ini adalah ”struktur baku” dalam bahasa formal percakapan orang Jepang. Mereka akan menganggap orang lain kurang sopan jika berbicara tanpa tiga kata itu. Orang Jepang menambah kadar kesopanan dengan bungkukan badan. Jika kita berterima kasih dengan sekali bungkuk, mereka akan membalasnya dengan dua kali bungkuk, dan seterusnya.

Bahasa memang cermin sebuah bangsa. Bagi orang Jerman, yang bahasanya menjadi cikal-bakal bahasa Inggris, bahasa formal dalam percakapan hampir tak ada bedanya dengan bahasa formal dalam penulisan karena bahasa diasah dan menyebar melalui struktur baku tulisan dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Orang Inggris bisa membedakan, baik dalam lisan maupun tertulis, derajat kesopanan di antara dua frasa permintaan dengan makna sama ini: ”could you please...” dan ”can you please...”.

*) Wartawan Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus