Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Buazizi

Buazizi

28 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buazizi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dimulai dengan Buazizi.

Sekitar pukul 10 malam, 16 Desember 2010, pedagang kaki lima Tunisia yang hidup pas-pasan di Kota Sidi Bouzid ini mendapat pinjaman uang sekitar tiga juta rupiah untuk membeli barang yang hendak dijajakannya esok. Pagi-pagi, pukul 08.00, ia menggelar dagangannya di sebuah sudut jalan.

Tapi dua jam kemudian polisi datang. Buazizi dianggap tak punya izin berdagang; barang-barangnya disita.

Polisi dan pemerintah kota tak peduli bahwa pemuda berumur 26 tahun itu jadi pedagang kaki lima untuk menanggung biaya hidup ibu, pamannya yang sakit-sakitan, dan enam adiknya. Buazizi sendiri, sejak berumur 10 tahun, tak bisa bersekolah lagi; dari Dusun Sidi Salah yang 19 kilometer jauhnya, ia harus cari nafkah di kota pedalaman yang sepertiga penduduknya menganggur. Ia berada di tingkat terbawah masyarakat Sidi Bouzid: baginya tak terbuka alternatif apa pun—termasuk untuk selamat dengan menyuap petugas dan, kini, untuk mengembalikan uang tiga juta.

Pada 17 Desember, Buazizi membakar diri.

Ia mati. Tapi tiba-tiba ia bertaut dengan sehimpun bara dalam sekam. Ia tidak hanya menyalakan protes atas penindasan dan ketimpangan sosial di kotanya, tapi jadi rasa pedih dan marah di seluruh dunia Arab—tempat rakyat bertahun-tahun menanggungkan sakit dan miskin, tak diperlakukan adil, dibungkam.

Bunuh diri Buazizi diikuti banyak orang: enam bulan setelah ia dimakamkan, di Tunisia, ada 107 pemuda melarat mencoba membakar diri; sekitar tiga orang melakukan hal yang sama di Aljazair.

Pembangkangan yang putus asa itu jadi sesuatu yang menyebar. Sebuah kejadian yang singular dengan segera jadi plural—dan revolusi yang disebut “Musim Semi Arab” berkecamuk, mengubah wilayah itu dan mengubah dunia. Suatu energi yang universal meletup, mengoyak situasi yang ada di pelbagai tempat; ia disambut di mana-mana: Buazizi benar!

Demikianlah kebenaran muncul setelah bertahun-tahun diringkus, tanpa rumusan dan ajaran yang siap sebelumnya. Kebenaran, di sini, berarti sesuatu yang dilahirkan, bahkan diproduksi, dari sebuah aksi yang tak dirancang, tak disangka-sangka.

Sebenarnya genting. Kebenaran tak pernah bisa diformulakan. Kebenaran tak identik dengan kepastian.

Seperti di hari-hari ini. Dalam keadaan tak pasti, kebenaran terdesak beribu-ribu klaim. Akhirnya orang menerima “pasca-kebenaran” sebagai sesuatu yang normal—meskipun “pasca-kebenaran”, seperti dipamerkan Donald Trump, sebenarnya “anti-kebenaran”.

“Musim Semi Arab” dengan cepat jadi musim yang menakutkan. Api yang membakar Buazizi jadi api yang menghanguskan elan politik pembebasan dari kaki lima Tunisia. Perubahan politik jadi penyusunan tata dan lembaga, melalui persaingan wacana dan kompetisi kekuatan. Pemberontakan yang digerakkan sebuah panggilan moral yang universal berubah jadi prosedur pembagian posisi, melalui kalkulasi dan negosiasi pihak-pihak yang bersaing dan bertentangan. Jacques Rancière akan menggambarkan keadaan ini sebagai transformasi “Politik”—dalam arti perjuangan ke arah kesetaraan—jadi “Polisi”, lembaga yang menegakkan hierarki dan tak jarang menindas.

Dalam proses itu, yang universal pun dibuang. Kebenaranku tak mungkin bertemu dengan kebenaranmu; alasan moralku tak bisa sesuai dengan alasan moralmu.

Akhirnya, pembunuhan. Pembinasaan dihalalkan. “Khilafat” di Timur Tengah yang dicoba ditegakkan pasca-“guncangan Buazizi” adalah contoh bagaimana nilai-nilai universal dihilangkan. Islam diubah dari agama yang meyakini Tuhan Yang Maha-Akbar jadi identitas yang menyempit dan sektarian, jadi doktrin jihadi yang mengkafirkan “mereka” dan membasmi apa saja yang “bukan-kami”. Dan Islam pun jadi “Polisi”.

Seperti Stalinisme. Setelah Revolusi Sosialis di Rusia tahun 1917, yang ingin melahirkan kesetaraan dan emansipasi manusia, Stalin berkuasa. Kaum Stalinis pun menegakkan kediktatoran di atas proletariat, di atas Partai bersama. Mereka mengharamkan apa saja—“humanisme”, juga kebenaran—yang universal. Bagi mereka, yang boleh berlaku hanya “kebenaran proletariat”. Mereka lupa bahwa “proletariat” bukan identitas yang mandek. Sejarah akan membuat proletariat jadi kelas yang universal, ketika kapitalisme akhirnya meringkus siapa saja.

Di masa Stalin itulah tokoh-tokoh Marxis terkemuka, seperti Trotsky, dilibas. Revolusi mengeremus anak-anaknya sendiri. Yang universal dikhianati bahkan di antara sesama kawan seperjuangan. Di abad ke-21, di Timur Tengah dan Afganistan, Taliban tak bisa berjabat tangan dengan ISIS, dan ISIS makin terkucil dalam kekejamannya. 

Haruskah demikian?

Di tahun-tahun ketika dunia dihantui ketidakadilan dan pemberontakan jadi alternatif yang menarik, Albert Camus menulis L’Homme Révolté dengan kalimat yang termasyhur: Je me révolte donc nous sommes: aku berontak, maka kita ada. Aku bukan berontak untuk diriku sendiri; aku berontak karena ada sesuatu yang universal, yang membangun “kita”, dalam pembangkangan itu.

Dengan itulah kita menghormati Buazizi.

GOENAWAN MOHAMAD

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus