Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan peninjauan kembali (PK) tanpa batas merupakan blunder sistem hukum kita. Semula seseorang yang diputus bersalah pada tingkat kasasi dapat menempuh perlawanan hukum luar biasa melalui PK. Syaratnya, terpidana bisa mengajukan novum atawa bukti baru.
Belakangan, distorsi terjadi. PK bukan lagi hak hukum terpidana. Jaksa penuntut bisa pula melakukan PK. Menurut aturan, upaya itu hanya bisa dilakukan satu kali. Terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi, selain "melestarikan" ketidakpastian hukum, bukan tak mungkin berujung pada kekacauan.
Putusan kontroversial itu lahir memenuhi permintaan bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu mengatur PK hanya bisa diajukan sekali. Divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan, Antasari mengajukan permohonan PK. Permohonan itu ditolak Mahkamah Agung. Tak menyerah, ia mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Pandangan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan Antasari sepintas masuk akal. Sepanjang ada novum, terpidana boleh mengajukan permohonan kasasi. Mahkamah berpendapat, perkara pidana menyangkut kehidupan manusia, sehingga upaya mencari keadilan tak boleh dibatasi. Menghalangi pencari keadilan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Ketidakpastian hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi itu bisa datang, salah satu contohnya, dari eksekusi hukuman mati. PK memang tidak membatalkan eksekusi. Tapi, sepanjang PK bisa diajukan lagi, lagi, dan lagi, eksekusi mati pasti menunggu putusan terakhir. Terpidana mati berduit, misalnya, bisa "membatalkan" eksekusi dengan cara mengajukan permohonan PK berulang-ulang hingga akhirnya ia mangkat karena uzur atau sakit.
Belum lagi persoalan kriteria novum. Sudah bukan rahasia lagi, bukti baru bisa direkayasa. Seorang terpidana korupsi, dengan harta tetap melimpah ruah, bisa saja "mengatur" novum agar pengadilan mencabut statusnya sebagai mantan pesakitan. Mengerikan sekali bila "tiket" Mahkamah Agung itu kemudian dipakai mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau legislator.
Kerepotan akan terjadi juga pada perkara pidana yang diajukan bersamaan dengan perdata. Meskipun putusan PK "never ending" tadi tak berlaku untuk urusan perdata, implikasinya bukan tak ada. Kasus perdata yang sudah diputus—katakanlah terdakwa harus membayar ganti rugi kepada lawan bisnisnya—akan janggal jika bertentangan dengan putusan bebas yang dikeluarkan majelis PK. Bagaimana mungkin seseorang yang secara pidana tak bersalah tapi harus dihukum di ranah perdata.
Palu memang sudah diketukkan, tapi Mahkamah Agung harus mempertimbangkan undang-undang lain sebelum menerapkan putusan MK itu. Sebab, setelah putusan MK, setidaknya 70 berkas PK baru sudah diajukan. Dasar MA mempertimbangkan, putusan "PK berbalas PK" ini bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung, yang memutuskan PK pada tingkat pertama dan terakhir. Maksudnya jelas: PK cukup sekali saja. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan terhadap PK tak bisa dilakukan PK lagi.
Betapapun tak mudah, cara memperbaiki kekeliruan ini adalah mengamendemen Undang-Undang KUHAP, terutama Pasal 268 ayat 3 tadi, dalam pembahasan revisi KUHAP yang saat ini sedang berlangsung. Peninjauan kembali mesti dikembalikan hanya boleh diajukan sekali. Membiarkan putusan keliru Mahkamah Konstitusi itu menambah kisruh sistem hukum kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo