Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Anggaran Tinggi Revisi Undang-Undang TNI

DPR menyetujui pembahasan revisi UU TNI. Menarik tentara ke urusan sipil dan bisa menguras anggaran negara. 

 

11 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada urgensi revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia saat ini selain memenuhi kepentingan pribadi para perwira tinggi yang sekarang menjabat. Di samping membuka ruang makin terlibatnya tentara dalam urusan sipil, revisi tersebut akan sangat memberatkan anggaran negara yang sudah luluh lantak selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revisi UU TNI mendapat karpet merah lewat inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang disetujui dalam rapat paripurna pada pekan lalu. Revisi ini satu paket dengan sejumlah undang-undang strategis lainnya, seperti Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Penyiaran, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sengaja dikebut politikus Senayan pada bulan-bulan terakhir menjelang pensiun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para penunggang gelap yang menjadi motor revisi UU TNI ingin memanfaatkan momentum pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih periode 2024-2029. Sebagai bekas tentara, sosok Prabowo diharapkan mampu menjembatani kepentingan domestik TNI yang tak kunjung tuntas menyelesaikan masalah perwira tanpa jabatan yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Argumentasi ini jelas tak logis jika diselesaikan dengan mengubah batas usia pensiun dari 58 menjadi 60 tahun. Penambahan batas usia pensiun personel TNI jelas bakal memperpanjang daftar antrean perwira non-job.

Revisi UU TNI patut dikecam lantaran mengandung banyak mudarat. Gagasan tersebut bakal mengulang luka sejarah akibat praktik supremasi militer. TNI, sebagai pelaksana tugas matra pertahanan negara, tak boleh kehilangan fokus. Membuka peluang pelibatan mereka dalam jabatan strategis kementerian/lembaga, seperti tercantum dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI, tak sejalan dengan kebutuhan organisasi yang mesti diisi kalangan profesional dan yang kompeten. 

Selama ini, pengisian jabatan oleh personel TNI aktif diatur secara limitatif berdasarkan UU TNI dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 38 Tahun 2016. Badan Keamanan Laut, Kementerian Pertahanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan Badan Intelijen Negara adalah beberapa di antaranya. Draf revisi UU TNI mengubah aturan migrasi jabatan menjadi lebih lentur. Peluang tersebut kini terbuka lebar sejauh diusulkan oleh kementerian/lembaga dan mendapat restu presiden. 

Jika pasal tersebut dipenuhi, hal itu jelas merupakan kemunduran besar yang mengaburkan batas demarkasi penempatan jabatan sipil/militer. Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah terbukanya kembali pendekatan militeristik dalam penyelesaian berbagai masalah bernegara. Tragedi kekerasan akibat pemberlakuan daerah operasi militer di Aceh dan Papua merupakan contoh kecil dari sekian banyak penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Baru. Penyelesaian kasus tersebut hingga kini tak kunjung membuahkan rasa keadilan.

Penambahan 22 komando distrik militer baru merupakan isu lain yang ikut melatari pembahasan revisi UU TNI. Usulan tersebut terbilang prematur lantaran tak berangkat dari kajian yang memotret kebutuhan lapangan. Kesan yang mengemuka, gagasan ini hanyalah sarana untuk memfasilitasi jabatan baru bagi para perwira tinggi yang jumlahnya sudah menumpuk.  

Sulit dibayangkan betapa besar anggaran negara yang mesti dikucurkan untuk memenuhi rencana penambahan 22 kodam. Selain pembangunan infrastruktur, pos jabatan-jabatan baru yang mesti diakomodasi dalam bentuk gaji dan tunjangan kinerja akan makin memberatkan anggaran negara, yang dalam lima tahun ke depan diprediksi berdarah-darah.

Sebagai presiden terpilih, Prabowo semestinya perlu menghitung kembali beban anggaran yang diwariskan Jokowi. Dengan asumsi tanpa penambahan angka anggaran TNI saja, dalam lima tahun ke depan, Prabowo mesti menyisihkan Rp 3.086 triliun untuk mencicil pembayaran utang. Jumlah penyelesaian yang dijadwalkan pada tahun depan mencapai Rp 800 triliun. 

Di tengah kondisi fiskal yang belum sehat, opsi penghematan anggaran, salah satunya menolak revisi UU TNI, bisa menjadi solusi. Jangan sampai Prabowo menjadi tukang cuci piring dari kekacauan pengelolaan anggaran rezim sebelumnya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus