Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Baihaki dan Masa Depan Pertamina

Bank Dunia mengusulkan agar dua kilang minyak dilepaskan dari Pertamina, tapi Baihaki tegas menolaknya. Ada apa?

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Undang-Undang Minyak dan Gas No. 22/2001 diloloskan oleh DPR akhir tahun lalu, sebagian pengamat menyambutnya dengan antusias. Perangkat peraturan yang bertujuan membebaskan sektor ini dari segala kepentingan bercokol tersebut diharapkan bisa menjadi gerbang menuju era migas yang gilang-gemilang. Era baru itu tidak boleh lagi dikotori praktek korupsi-kolusi-nepotisme, tapi ditandai dengan budaya kerja efektif dan efisien dalam sebuah sistem yang mengutamakan good corporate governance. Memang ada yang menerima Undang-Undang No.22/2001 dengan sikap mendua. Di satu sisi mereka membenarkan bahwa monopoli Pertamina tidak sehat dan tidak perlu dipertahankan. Tapi di sisi lain mereka juga memahami bahwa industri migas hanya bisa berkembang kalau para pelakunya serba canggih dalam arti memiliki teknologi, modal, dan pengalaman yang tidak tanggung-tanggung. Industri migas adalah gelanggang bergengsi yang penuh risiko. Dan sekali Indonesia membukanya untuk liberalisasi, berarti kita harus siap menerima superioritas pemain asing di dalamnya. Satu-satunya pemain kita adalah Pertamina yang, kendati menggeluti sektor migas selama tiga dasawarsa, kinerjanya masih ketinggalan dari Petronas, perusahaan sejenis dari Malaysia. Dengan Undang-Undang No. 22/2001, pintu liberalisasi dibuka dan Pertamina dikondisikan untuk melakukan transformasi. BUMN ini, selain dipereteli wewenangnya, juga harus berubah status menjadi persero. Ini suatu proses yang tidak mudah, dan untuk itu Direktur Utama Baihaki Hakim diharapkan dapat memainkan perannya dengan baik. Tapi ketidaksiapan di pihak pemerintah sendiri telah mempersulit Pertamina. Dalam kontrak pemasokan LNG untuk Fujian, misalnya, Pertamina diharuskan mewakili Indonesia dalam penandatanganan kontrak, padahal BUMN ini tidak memiliki kekuatan hukum untuk itu. Maka, segalanya jadi rancu, menyulitkan Pertamina, dan salah-salah bisa merugikan Indonesia. Di tengah ketidakjelasan itu timbul soal baru yang menyangkut surat Bank Dunia. Dalam surat itu Bank Dunia meminta agar Indonesia menghentikan praktek monopoli Pertamina dan secara spesifik mengusulkan agar kilang Cilacap dan Balikpapan dipisahkan dari BUMN ini. Indonesia juga diminta segera mendirikan perusahaan minyak baru di luar Pertamina. Permintaan Bank Dunia itu jelas mengada-ada, bahkan bernada memaksa. Meragukan kesiapan Pertamina untuk transformasi tentu sah-sah saja, tapi janganlah itu dijadikan dalih untuk memudahkan para kompetitor Pertamina mendominasi arena migas Indonesia. Katakanlah Bank Dunia tidak yakin pada itikad pemerintah untuk membuka pasar minyak negeri ini. Tapi jangan lupa, proses liberalisasi baru dirintis, sedangkan Pertamina diberi empat tahun untuk transformasi. Dalam konteks yang serba rancu ini, tak aneh bila Baihaki Hakim angkat bicara. Ia menolak usul pelepasan kilang Cilacap dan Balikpapan dari Pertamina, kendati ia mendukung sepenuhnya penghapusan monopoli migas di Indonesia. Selentingan bahwa ia akan dicopot diserangnya balik dengan kata-kata, "Ya, silakan ganti." Baihaki terkesan tegar dan tidak kenal kompromi. Namun, sikap pasif tim ekonomi di kabinet jelas tidak menguntungkan Baihaki. Dan tinggal soal waktu, barangkali, sebelum ada guncangan lagi, baik dari kubu pemerintah, DPR, maupun pihak-pihak yang entah karena alasan apa telah berpihak pada Bank Dunia. Mungkin bahkan telah terjadi pengeroyokan, semacam "kanibalisme" yang tak jelas ujung-pangkalnya. Satu hal pasti, Pertamina harus bertransformasi dan, untuk itu, memerlukan seorang praktisi sekelas Baihaki. Dengan visinya tentang masa depan Pertamina, tak berlebihan bila disimpulkan bahwa Pertamina lebih memerlukan Baihaki daripada Baihaki memerlukan Pertamina. Tapi, kalau Bank Dunia tidak melihatnya demikian, boleh jadi ada kepentingan yang lebih besar di belakangnya, sesuatu yang mungkin tak ada hubungannya dengan kepentingan nasional kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus