Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Perpu Sebagai Kontra-Teror

Pemerintah mengeluarkan peraturan darurat untuk memberantas terorisme, tapi belum tentu bisa membuat teroris jera.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketidaksabaran melihat lambannya usaha pencegahan dan penanggulangan terorisme sudah lama dialamatkan kepada pemerintah Indonesia. Berpuncak pada teror bom di Kuta, Bali, rasa tidak sabar berubah jadi nyaris tidak percaya sama sekali—terutama di kalangan internasional—pada kesungguhan dan kemampuan kepemimpinan negara ini. Sekarang pemerintah menjawab dengan mengeluarkan dua buah peraturan darurat, yang bentuk dan isinya luar biasa. Peraturan yang pertama ditujukan untuk memberantas tindak pidana terorisme secara umum, berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002. Yang kedua, Perpu No. 2 Tahun 2002, khusus ditujukan untuk menanggulangi peristiwa dahsyat di Bali itu, dengan menyatakan peraturan yang pertama, Perpu No. 1/2002 tersebut, berlaku surut bagi kasus itu. Dengan reaksi yang sigap ini, pemerintah mengharap penanggulangan bisa lebih lancar dan kepercayaan padanya agak dipulihkan. Keluarbiasaan peraturan darurat ini diterima dengan perasaan campuran, antara setuju dan rasa sangsi. Setuju karena ketegasan memang diperlukan, tapi banyak yang khawatir kekuasaan yang berlebihan itu cenderung disalahgunakan. Keberanian untuk melanggar asas hukum yang berlaku universal—tidak dibenarkan membuat suatu peraturan yang ditujukan bagi peristiwa yang terjadi sebelumnya, sebab hal itu adalah pencerminan kesewenang-wenangan—bukan sekadar luar biasa, tapi bisa dikatakan nekat. Untuk melawan dan mencegah terorisme, cara termudah ialah dengan undang-undang yang memberi kewenangan istimewa untuk mengambil langkah sebelum teror dilakukan. Namun langkah mengekang kebebasan untuk mencegah terjadinya kejahatan—represi preventif—sebetulnya berlawanan dengan asas hukum pidana, khususnya asas praduga tak bersalah. Kalau ini dibiarkan dan tidak ditolak, selanjutnya kita pun mesti rela menerima sensor atau surat izin terbit—bentuk lain represi preventif—diberlakukan pada media massa. Namun bengisnya teror bom di Bali dan akibatnya yang mengerikan itu mungkin telah menutupi kesadaran orang untuk berpikir jauh. Penghargaan kepada soal keadilan hukum dan hak asasi sering jadi rapuh pada orang yang ketakutan dan dikuasai amarah. Padahal menunda hak yang tercantum dalam konstitusi seyogianya hanya bisa dibenarkan dalam keadaan perang atau darurat perang. Mungkin dalam desakan perang melawan terorisme ini, kita bersedia menunda penghormatan akan kemerdekaan dan hak konstitusional seseorang, terutama dan khusus untuk teroris yang dianggap tak pantas menikmatinya. Meniadakan hak sebagian orang demi menumpas terorisme sebetulnya adalah membalas teror dengan teror pula. Perpu Anti-Terorisme bisa berubah sebutan menjadi Perpu Kontra-Teror. Kita berpaling ke Amerika Serikat, yang setelah tragedi 11 September membuat undang-undang antiterorisme, USA Patriot Act, yang juga menyangkal hak konstitusi bagi yang disangka teroris. Mungkin kita berpendirian, kalau negara kampiun demokrasi saja mengabaikan hak konstitusi, Indonesia tidak terlalu jelek dalam menerbitkan Perpu No. 1 dan 2/2002 demi menumpas terorisme itu. Tapi, dari segi manfaat, ternyata undang-undang antiterorisme juga tak efektif benar. Saat ini Amerika tidak bisa mencegah penembak jitu—sejenis teroris barangkali—yang berkelana membunuhi sembilan korban, yang membuat semua petugas keamanan di sana kewalahan. Karena itu, seraya kita mengakui perlunya suatu undang-undang khusus, lebih penting lagi ialah menyiapkan organisasi untuk menanggulangi terorisme sendiri, dan mengerahkan kewaspadaan masyarakat. Lalu bersama DPR, Perpu Anti-Terorisme ini disusun kembali agar bersih dari pasal karet yang mudah disalahgunakan untuk menjebloskan orang yang tidak bersalah, atau jadi korban fitnah belaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus