Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kalau Mau Hutan Tersisa, Tindak Si Raja Rimba

Jika penebangan gelap dibiarkan, di tahun 2010 hutan Kalimantan tinggal kenangan.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA di sebagian wilayah Indonesia masih berlaku hukum rimba. Siapa yang berduit—dan karenanya bisa membeli kuasa dan power—dialah yang menentukan segalanya. Jika Anda bertanya di wilayah mana itu terjadi, jawabannya di hutan-hutan kita, terutama di Kalimantan. Di sana kekuasaan pemerintah kandas, aparat ada di bawah sepatu sang raja rimba, dan wibawa Kementerian Kehutanan diinjak-injak sampai ludes. Jika tidak begitu, aparat malah bahu-membahu dalam bisnis gelap sang raja: perampokan besar-besaran kayu liar. Inilah sebuah kejahatan besar yang tidak pernah bisa ditindak oleh siapa pun di negeri ini. Kejahatan yang sudah ada sejak awal tahun 1970 itu semakin tahun semakin besar dan gila-gilaan angkanya. Tahun lalu ada 2,4 juta hektare hutan di Kalimantan yang amblas. Dari sana negara dirugikan US$ 1.300 semenit alias Rp 11,7 juta (dengan kurs Rp 9.000 sedolar) setiap sepuluh kali Anda menarik napas panjang. Setahun tak kurang dari Rp 30 triliun dibobol para maling kayu (lihat rubrik Investigasi: Kayu Haram dari Jantung Kalimantan). Anda belum terbayang betapa dahsyat kerusakan itu? Mungkin ilustrasi berikut ini bisa sedikit membantu. Pejamkan mata Anda selama satu menit. Begitu Anda membuka mata, hutan kita di Kalimantan sudah berkurang hampir lima kali luas lapangan sepak bola. Kalau tulisan ini sampai ke tangan Anda dalam 2 X 24 jam, itu berarti hutan kita sudah susut 2.890 kali luas lapangan sepak bola. Setahun, hutan seluas Provinsi Jawa Barat lenyap dari muka bumi Kalimantan. Jika tak dicegah, delapan tahun lagi hutan kita tinggal dongeng menyedihkan untuk anak-cucu sebelum tidur. Menyedihkan, karena dengan malu-malu kita akan mengaku kepada anak-cucu kita bahwa tak seorang pun di Republik Indonesia yang mampu mencegahnya. Setidak-tidaknya sudah sepuluh Menteri Kehutanan diangkat sejak tahun 1970, tapi tak seorang pun yang sanggup mengerem perampokan kayu gila-gilaan ini. Beleid apa pun yang diterapkan, tetap saja kerusakan jalan terus. Dulu, di zaman Soeharto, hak pengusahaan hutan diberikan kepada pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Maksudnya, mungkin, agar pemanfaatan hutan mudah dikontrol. Tapi kerusakan tetap berlangsung, disertai aksi korupsi yang hebat. Bayangkan, pengusaha seperti Prajogo Pangestu pernah menguasai hutan sampai tiga juta hektare alias seluas negara Swiss. Kecepatan rusaknya hutan akibat penebangan—yang resmi ataupun yang liar—tetap saja tidak sebanding dengan usaha reboisasi yang dilakukan. Zaman reformasi ternyata tak banyak menyelamatkan hutan dari penjarahan liar. Izin pengusahaan hutan sempat diberikan kepada bupati di daerah di tahun 2000, tapi kerusakan tidak tertahankan. Banyak pengusaha yang mau menebang tapi tak mau menanam kembali. Sementara itu, tetap saja aksi babat liar berlangsung dengan hebatnya. Sejak 2001 soal izin ini kembali ditarik ke pusat, tapi hutan kita sudah telanjur bopeng dan koyak-moyak. Sudah begitu, pencurian bukannya berhenti, malah merambah juga hutan konservasi seperti di Tanjung Puting. Faktor utama yang membuat semua upaya menyelamatkan hutan seperti majal adalah duit. Korupsi yang melibatkan penebang liar, pengusaha, polisi, tentara, syahbandar, dan pejabat membuat semua usaha perbaikan mentok di tengah jalan. Korupsi inilah yang membutakan mata tentang pentingnya hutan untuk masa depan kita semua. Korupsi inilah yang membuat raja-raja hutan seperti memberlakukan hukum rimba di sektor kehutanan. Saran kami (walaupun klise, ini perlu disampaikan): tindak raja rimba pencuri kayu itu. Pemerintah tak cukup hanya punya niat baik untuk menghentikan kerusakan hutan, tapi juga harus punya "kuku yang tajam" untuk merobek siklus perdagangan kayu haram—yang tentunya dimulai dari penebangan liar. Tindakan ini harus cepat, sebelum hutan kita tinggal impian. Kalau terlambat, mungkin pemerintah tidak memerlukan lagi seorang Menteri Kehutanan. Mungkin yang diperlukan kala itu adalah menteri urusan semak dan belukar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus