Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riswandha Imawan
Pengamat politik dari UGM
MENJADI wakil rakyat di Indonesia memang runyam. Di masyarakat yang sangat plural ini, mulut seorang wakil harus mampu mengakomodasi aspirasi 400 ribu orang.
Dulu, para wakil ini dihujat dengan akronim 5-D: datang, duduk, diam, dengar, dan duit. Sekarang, sekalipun telah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan, para wakil tetap dituding tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat. Buktinya, hampir setiap saat Gedung DPR didatangi demonstran. Gelombang para demonstran itu demikian dahsyat, sampai pernah hampir terjadi adu jotos antara dua kelompok demonstran yang datang ke DPR pada hari dan jam yang sama. Mengikuti penjelasan teoretis, salah satu kewajiban para wakil adalah membawa aspirasi masyarakat ke dalam sistem politik. Tegasnya, dalam satu negara yang demokratis, hiruk-pikuk politik berada dalam parlemen, sementara masyarakatnya tenang. Sehingga, bila masyarakatnya ribut, sementara DPR-nya tenang, itu pertanda wakil rakyat tidak aspiratif. Yang kita saksikan dari DPR hasil Pemilu 1999 adalah mereka ribut, masyarakat ikut ribut. Ada apa rupanya? Bila kita simak prolog dan epilog Pemilu 1999, tampak jelas kehidupan politik kita belum bergeser dari situasi awal 1900-an. Patronase politik kembali menguat, diikuti dengan terjadinya personifikasi institusi. Tengok saja fakta-fakta berikut ini. Saat pembentukan Kabinet Persatuan Nasional, terjadi proses "dagang sapi" antara lima tokoh nasional: Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, Wiranto, dan Akbar Tandjung. Mereka menjadi patron bagi anggota kabinet. Dan fenomena PAN yang sulit lepas dari aura Amien Rais, PDI Perjuangan yang tersentral pada Megawati, atau PKB sebagai bumper politik bagi Gus Dur juga mengindikasikan masih berlangsungnya personifikasi institusi dalam kehidupan politik di Indonesia. Tampaknya, kita belum bisa melepaskan diri dari asumsi bahwa mati-hidupnya partai sangat bergantung pada mati-hidupnya seorang pemimpin. Sebuah ironi di era reformasi, di mana kita menghendaki kehidupan partai politik bersandar pada sistem dan mekanisme yang baku. Pemilu 1999 memang berlangsung lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, jangan lupa, di pengujung proses penentuan wakil rakyat, peran elite sebagai patron politik masih tetap kuat. Ini lubang yang memungkinkan para elite politik mampu mempengaruhi agenda ataupun opini wakil rakyat di DPR. Akibatnya, seperti yang kita saksikan, para wakil rakyat lebih sibuk menjadi benteng bagi aktivitas politik para elite mereka daripada membentengi kepentingan rakyatnya. Tentu tidak semua wakil rakyat berposisi seperti ini. Banyak yang mengedepankan rasionalitas dalam berpolitik. Artinya, tidak asal mendukung apa pun yang dilakukan atau diucapkan oleh tokohnya. Namun, jumlah mereka masih belum memadai dibandingkan dengan kelompok yang memainkan politik dengan jurus-jurus emosi. Main ancam akan mengerahkan massa ataupun menggunakan otot daripada otak untuk menyelesaikan masalah, yang sering dikemukakan para elite (termasuk segelintir anggota DPR), menunjukkan bahwa ciri masyarakat primitif masih tersisa dalam kehidupan politik kita. Fungsi wakil rakyat sebagai benteng aktivitas patron politiknya menyeruak tatkala eksekutif menunjukkan kelemahan yang substansial dalam mengelola kepentingan negara ini. Isu reshuffle yang mencuat bahkan beberapa menit setelah susunan kabinet diumumkan, diikuti dengan inkonsistensi pernyataan-pernyataan serta sikap Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pucuk pimpinan eksekutif, hanya menebalkan kepercayaan bahwa pemerintahan Gus Dur ini benar-benar "bersifat transisi alias sementara." Akibatnya cukup runyam. DPR hasil Pemilu 1999 ini dibebani misi yang sangat berat, yakni meletakkan landasan konstitusional bagi berlanjutnya gerak reformasi di segala bidang. Setidaknya ada 60 undang-undang yang harus dibuat, sedangkan sampai waktu rezim reformasi ini terpakai sebanyak 22 persen, baru sekitar 10 undang-undang yang dihasilkan. Ini bukan persoalan yang mudah. Reformasi memerlukan penegakan hukum. Itu dimulai dengan adanya kejelasan hukum. Artinya, para wakil rakyat ini diharapkan cepat bekerja, cepat memasang rel tempat gerbong reformasi akan bergerak. Untuk itu, mereka dituntut segera memikirkan nasib bangsa ini dan tidak sekadar mengombang-ambingkan isu-isu politik yang dilontarkan politisi dalam rangka perjuangan untuk berkuasa. Selain masalah patronase dan personifikasi institusi, ada indikasi para wakil rakyat tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Fenomena ini bisa dilihat pada tataran DPRD. Banyak anggota DPRD yang hanya mengenal hak, tidak sadar akan kewajibannya. Banyak anggota DPRD yang tidak tahu bagaimana cara membuat peraturan daerah (perda). Padahal, sesuai dengan aturan yang berlaku, eksekutif tidak dapat bekerja tanpa adanya perda. Kelemahan ini merupakan kesalahan kaum kelas menengah-atas yang tidak mau berpolitik semasa Soeharto berjaya. Mereka tidak mau mengambil risiko. Akibatnya, mereka yang aktif berpolitik datang dari kelas menengah-bawah. Mereka inilah yang menjadi elite partai, yang ketika zaman berubah berada di urutan terdepan untuk menjadi wakil rakyat. Keberadaan mereka sah, legitimate. Bukankah demokrasi hanya menyoal kuantitas pendukung, bukan kualitas kandidat? Mereka ini terbagi dalam tiga kelompok besar. Pertama, mereka yang bingung tiba-tiba menjadi wakil rakyat. Tanpa dibekali keterampilan minimal, mereka cenderung berkonsultasi bahkan minta petunjuk kepada para elitepatron merekadi eksekutif untuk membuat perda. Dampaknya, eksekutif dapat dengan mudah mendiktekan kehendaknya kepada legislatif. Kedua, wakil rakyat yang cerdik. Mereka, misalnya, sengaja membentuk opini untuk memilih bupati yang lemah. Melalui mekanisme penolakan pertanggungjawaban bupati yang dilakukan tiap tahun, terbuka kesempatan untuk memilih bupati baru. Itu artinya "obyekan baru". Ketiga, wakil rakyat dengan rasa percaya diri yang tinggi. Mereka sadar betul akan haknya, tapi acap mengganggu kinerja DPRD sendiri. Simak saja berita dari Yogyakarta ini. Saat ditentukan pengambilan keputusan dilakukan dengan cara voting, seorang wakil rakyat menolaknya kecuali bila digunakan prinsip one man one vote. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |