Saya ingin menanggapi berita tentang "Kadiruniyah" (TEMPO, 10 Desember, Agama). Saya ingin mengoreksi istilah "Kadiruniyah" yang dipakai TEMPO. Saya, seperti juga jutaan murid Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya, M.Sc., tak pernah mengenal istilah "Kadiruniyah". Saya menduga, TEMPO memakai penamaan itu karena menganut persepsi bahwa tarekat adalah ilmu rekaan atau aliran yang didirikan seseorang. Kalau dugaan itu benar, saya menyatakan bahwa itu salah. Tarekat adalah pengamalan (praktek) metode dzikrullah, yang dilaksanakan Nabi Muhammad saw. Dan diturunkan oleh Nabi kepada beberapa murid terdekatnya (para sahabat). Tarekat yang diturunkan dari Rasulullah saw. Itu mulanya tak bernama. Tetapi kemudian lebih dikenal dengan nama Tarekat Sirryah. Dari garis Abu Bakar ash-Shiddiq pun, kemudian lebih dikenal dengan Tarekat Shiddiqiyyah dan diturunkan terus sampai ke pewaris bernama Bahauddin Naqsyabandi yang, kemudian, lebih populer dengan nama Tarekat Naqsyabandiyyah. Akhirnya, para ulama ahlussunah wal jamaah bersepakat tetap memakai nama Tarekat Naasyabandiyah. Pada saat ini, pewaris kepemimpinan dibebankan kepada Prof. Dr. H.S.S. Kadirun Yahya, M.Sc. yang berkedudukan di Medan, Indonesia, tanpa sedikit pun mengubah ilmu warisan Rasul termasuk i'tikaf. Kalau saja seseorang mengetahui betapa besar beban seorang mursyid, tentu, tak akan ada seorang manusia pun bersedia mengaku seorang mursyid. Guru kami itu pun ditunjuk pendahulunya, bukan mengangkat dirinya sendiri. Pada TEMPO 26 November 1988 halaman 32 alinea keempat dari bawah, Redaksi mengarahkan opini pembaca kepada kesan bahwa para murid tarekat itu menjadi "pengikut" karena terikat pada pribadi beliau, yang memiliki "kemampuan bicara baik", bahkan "teatral". Bagian terbesar murid beliau, yang jutaan jumlahnya, justru tidak atau belum bertemu beliau ketika masuk tarekat ini. Dalam TEMPO, 10 Desember banyak lagi hal yang tak akurat itu. Antara lain, kami melaksanakan dzikrullah tidak dengan mulut, tetapi kalbu "tasbih" tidak kami "main"-kan (yang dapat berarti banyak), tetapi hanya alat penghitung. Sebab, zikir banyak jumlahnya. Tak ada bai'atatau sumpah tak membayangkan wajah guru, tetapi menyinkronkan kalbu dengan kalbu mursyid. Juga, murid bebas mengirimkan zakat fitrah ke mana yang dia suka dan guru bukan perantara. Mengenai manakah Tarekat Naqsyabandiyah yang mu'tabaraoh, kami pun tak berani mengklaim sepihak. Tetapi seseorang mengenal uang palsu, karena adanya uang asli. Pembuktiannya? Bukankah seseorang dapat menilai suatu rumah berkamar dan bertingkat banyak, hanya setelah seseorang masuk dan menjelajahi ke dalam rumah itu? Kalau seseorang bertemu dengan seorang yang baru memasuki teras dan bertanya kepadanya tentang rumah itu -- padahal, seseorang belum pernah memasukinya -- dapatkah penjelasan orang itu obyektif? Imam al-Gazali al-Hujjatul Islam sendiri mengatakan, "Jangan menilai sesuatu ilmu sebelum mendalami ilmu itu." K.H.A. FATHONY Surau Nurul Amin Jalan Gayung Kebonsari 45 Surabaya * Maaf juga. Wartawan kami di Medan menginterviu Prof. Dr. H.S.S. Kadirun Yahya, M. Sc. Hanya dijawab tertulis. TEMPO mencari tahu kenapa tarekat ini dilarang di Malaysia, bukan "mengarahkan" opini pembaca. - Redaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini