IA tak banyak bicara di depan umum tentang diri dan pandangan pribadinya. Sebab itu, luar biasa dan penting ketika pekan lalu diumumkan: akan segera beredar buku Soeharto Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, sebuah otobiografi. Dari buku yang ditulis dengan gaya persona pertama ("saya") itu, banyak terungkap hal yang selama ini kurang diketahui. Misalnya ketika Pak Harto dilantik jadi Presiden untuk kelima kalinya tahun lalu. Hari itu istimewa: anak-anaknya hadir pada upacara pelantikan. "Memang mereka yang menginginkannya," kata Pak Harto dalam buku itu. "Saya paham akan keinginan mereka itu. Sebelum ini mereka tidak pernah menyaksikan dari dekat saya dilantik sebagai Presiden/Mandataris MPR." Kata Presiden lagi, "Bahwasanya di antara anak-anak saya ada yang menyatakan, pelantikan kali ini (1988) merupakan pelantikan terakhir sebagai Presiden buat saya, itu bisa dimaklumi. Dilihat dari segi rasio manusia, memang pada usia saya yang sudah akan mencapai 67 ini, pantas saja pelantikan ini yang terakhir untuk saya." Dengan pengungkapan seperti itu, (lihat juga Ungkapan-Ungkapan Pak Harto) jelas: terbitnya buku ini suatu peristiwa politik yang penting, yang mengawali tahun 1989. Buku itu diserahkan Presiden Soeharto kepada masyarakat secara simbolis diterima Menteri Koperasi Bustanil Arifin dan Gubernur Bali Ida Bagus Oka -- dalam upacara peringatan hari perkawinannya ke-41, d Istana Tampak Siring, Bali, Senin pekan lalu. Berarti inilah buku kedua tentang hidup Pak Harto setelah The Smiling General, President Soeharto of Indonesia yang ditulis oleh O.G. Roeder, seorang penulis Jerman Barat, dan diterbitkan oleh Gunung Agung di tahun 1969. Berbeda dengan The Smiling General, buku yang diterbitkan sekarang ini sebuah otobiografi. The Smiling General merupakan karangan tentang perjalanan hidup Pak Harto yang ditulis oleh Roeder. Sedang Soeharto merupakan perjalanan hidup Pak Harto menurut Pak Harto. Penyusunannya dilakukan oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Kepada kedua orang itulah Pak Harto memaparkan semua kisah ini. Cara ini juga yang dipakai oleh Bung Karno dulu, ketika ia memaparkan riwayat hidup dan pandangannya kepada seorang wartawan yang sering menulis tentang bintang-bintang film di Hollywood, Cindy Adams. Dalam banyak hal buku ini mengalahkan The Smiling General. Yang pasti lebih banyak bahannya (ditulis 12 tahun setelah buku Roeder) dan lebih otentik. Tentu saja tak bisa diharapkan Pak Harto akan berbicara semuanya tanpa aling-aling. Bagaimanapun ia masih aktif dalam jabatannya. Ia masih terikat sumpah untuk menjaga kerahasiaan, dan di samping itu juga harus menjaga agar ucapannya, sebagai Kepala Negara, tak punya dampak negatif. Betapapun juga, buku yang kalimatnya bersahaja ini satu sumbangan besar bagi penulisan sejarah Indonesia kelak. Idenya datang dari Dwipayana, 56 tahun, yang dipanggil akrab dengan "Dipo" itu. Ia, seorang perwira tinggi yang menyandang gelar kesarjanaan dari UI, sudah lebih dari 20 tahun berada di dekat Pak Harto, sebagai seorang pejabat Sekretariat Negara yang mengurusi dokumentasi dan media massa. Sejak 1974, Dipo punya niat untuk menerbitkan buku tentang Pak Harto. Dan pada 1983, ketika ia banyak menangani surat anak-anak yang ditujukan pada Kepala Negara, niatnya itu bertambah keras. Itu disampaikannya pada Pak Harto. Dan Pak Harto setuju. Lalu ia ajukan nama Ramadhan K.H. sebagai rekannya, untuk menyiapkan penulisan. Ramadhan, 61 tahun, lebih dikenal sebagai penyair. Kumpulan sajaknya, Priangan Si Jelita, terkenal di tahun 50-an. Dipo dan Ramadhan bertemu dengan Presiden untuk membicarakan penulisan buku itu, Maret 1985. "Kepada Presiden waktu itu saya katakan kesulitan saya. Saya awam pada budaya Jawa dan pula belum pernah menulis otobiografi," kata sastrawan kelahiran Bandung itu. Ia memang pernah menulis roman biografi Kuantar ke Gerbang, yang didasari riwayat hidup istri Bung Karno, Inggit Garnasih. Tapi menulis otobiografi, apalagi otobiografi seorang Kepala Negara, baginya tak mudah. "Tapi Pak Harto mengatakan soal itu bisa dibantu," kata Ramadhan. Maka, akhirnya Ramadhan dan Dipo mulai bekerja. Ramadhan mengajukan pertanyaan tertulis setiap minggu pada Pak Harto melalui Dipo. Karena jabatannya, Dipo memang mudah menemui Pak Harto. Ramadhan sendiri, selain pertemuan yang tadi itu, cuma pernah mewawancarai Pak Harto secara langsung beberapa bulan kemudian di Tapos, Jawa Barat. Macam-macam isi pertanyaan yang diajukan Ramadhan. Pertanyaan itu lebih dulu diperiksa Dipo. Lalu disampaikannya pada Presiden. Jawaban Presiden direkam dan ditranskrip oleh Dipo, lalu diserahkan pada Ramadhan. Sedapat mungkin yang dituliskan Ramadhan adalah kata-kata Pak Harto sendiri. Ia hanya terkadang menyunting kalimat yang berulang. "Tapi gaya bahasa Pak Harto tetap saya pakai". Tulisan Ramadhan itu kemudian diserahkan pada Pak Harto untuk dikoreksi. "Pak Harto mengoreksi sampai soal sekecil-kecilnya," kata Dipo. Semula buku itu sudah akan selesai pada 1987. Namun, atas pertimbangan Pak Harto, buku itu dilengkapi dengan peristiwa penting sampai Sidang Umum MPR, Maret 1988. Akhirnya, buku ini setebal 557 halaman, termasuk halaman untuk hampir 100 foto. Sangat membantu adalah keterangan tambahan di bagian akhir buku, khususnya tentang nama tokoh-tokoh yang disebut. Buku ini diterbitkan oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada, perusahaan milik Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Presiden. Menurut rencana, akan diedarkan Februari mendatang. Amran Nasution, Priyono B. Sumbogo, Sidartha P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini