Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lega di bawah mendung

Pidato akhir tahun 1988 presiden soeharto. situasi ekonomi stabil, kendati harga minyak rendah. masalah politik tak lagi diselimuti mendung. landasan ideologi mantap. budaya politik lama, ditinggalkan.

7 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK pesimistis, namun kita perlu berhati-hati. Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil dari pidato akhir tahun Presiden Soeharto, Sabtu pekan lalu. "Tahun 1988 akan kita tinggalkan dengan rasa lega," kata Presiden. "Tahun 1988 kita lewati dalam situasi ekonomi yang relatif stabil dan menunjukkan kecenderungan membaik." Namun, Presiden tak lupa mengingatkan betapa langit di atas bumi Indonesia tak selamanya cerah. "Gambaran umum di akhir tahun 1988 menunjukkan bahwa mendung perekonomian masih menggantung," katanya. Mendung itu apa lagi kalau bukan harga minyak bumi yang masih rendah dan kurs beberapa mata uang asing kuat yang setiap saat bisa menarik gengsi rupiah semakin ke bawah. Presiden mengakui, bahasa kesepakatan di antara anggota OPEC mulai membaik. Namun, di saat yang sama "kita belum dapat memastikan bahwa tingkat harga rata-rata minyak bumi di tahun yang akan datang (1989 - Red.), tidak akan lebih rendah dari tahun ini," kata Presiden. Adapun harga tahun ini boleh dibilang sudah mepet. Menurut Dirut Pertamina Faisal Abda'oe, sampai akhir tahun lalu harga rata-rata minyak Indonesia "masih dalam batas APBN". Artinya, jika harga rata-rata ekspor minyak Indonesia turun di bawah 16 dolarper barel pada Januari sampai akhir Maret 1989, maka realisasi pendapatan APBN dari migas, yang mewakili 40,8% dari pendapatan negara, akan berada di bawah rercana. Pergeseran kurs, terutama melonjaknya yen terhadap dolar AS, masih menghantui ekonomi negeri yang bermata uang rupiah. Dampak negatifnya terutama terasa dalam beban cicilan utang luar negeri. Dalam tahun anggaran yang masih berjalan sekarang, cicilan utang itu diperkirakan bertambah sampai di atas satu milyar dolar akibat menguatnya gengsi yen terhadap dolar AS. Benar, langkah-langkah penyesuaian telah diambil, hingga, menurut Presiden, "struktur ekonomi kita makin sehat dan kuat dengan topangan kekuatan sendiri yang makin luas." Namun, Presiden mengingatkan agar seluruh bangsa bersiaga menghadapi kemungkinan guncangan perekonomian dunia yang berikut, yang bila muncul "masih akan terasa berat bagi kita". Mendung yang menggantung ini tak begitu menyelimuti masalah politik. Sebab menurut Presiden, kerangka landasan di bidang ideologi dan politik berhasil diletakkan. Sehingga, tingkah laku dan budaya politik lama dapat ditinggalkan dan digantikan dengan yang baru, "yang bersuasana kekeluargaan dan lebih bermartabat," katanya. Yang dimaksud Pak Harto dengan budaya politik lama didasarkan pada anggapan bahwa "politik adalah pembentukan dan pengerahan kekuatan untuk memenangkan diri dalam adu kekuatan". Suatu jalan pikiran yang terbukti telah menimbulkan ketegangan, pertentangan, dan pergolakan bangsa. Ditinggalkannya pola budaya lama ini menyebabkan proses regenerasi dapat berjalan "wajar dan alamiah dalam suasana kekeluargaan secara tertib, teratur, lancar, dan penuh pengertian". Hingga, "kita bersyukur bahwa selama ini generasi pembebas dan generasi penerus telah bekerja sama bahu-membahu, dengan kesadaran tanggung jawab bersama untuk melangsungkan regenerasi secara sebaik-baiknya". Hal ini dapat digapai, masih kata Presiden, "berkat kekukuhan bangun politik yang kita susun, kemantapan ketahanan nasional yang kita kembangkan, dan keberhasilan pembangunan di semua bidang yang kita capai." Dan ini semua menjadi bekal dan kekuatan untuk menyongsong tahun 1989, tahun awal Repelita V. Tentu saja Pak Harto, dalam pidato yang disiarkan TVRI dan RRI ke segala penjuru tanah air ini, tak cuma menyinggung masalah dalam negeri. Harapan perdamaian di kawasan sekitar Indonesia, menurut Presiden, menunjukkan titik terang dengan pendekatan baru dalam penyelesaian masalah konflik di Kamboja. Apalagi dua pemimpin negara superkuat, AS dan Uni Soviet, sudah semakin berbaik-bakan. Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus