Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Beberapa catatan tambahan

Koreksi terhadap kolom fachry ali "serat surya raja dan islam". serat suryaraja karya kedua hamengku buwono ii sebagai manuskrip yang paling tua. tuli san fachry memberi kesan lebih rendah.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom Fachry Ali "Serat Surya Raja dan Islam" (TEMPO, 28 April 1990) perlu beberapa koreksi dan catatan, karena Fachry sama sekali tidak menyinggung data, kecuali mengutip disertasi Ricklefs. Untuk diketahui, buku tersebut ditulis dalam bentuk tembang macapat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II (1750-1828). Dalam tulisan Fachry, disebutkan karya ini mulai ditulis pada abad ke-19 dan baru selesai, dengan versi barunya, pada 1911-1912. Data ini jelas salah. Serat tersebut selesai dalam bentuk manuskrip tulisan tangan, pada Maret 1774. Kopinya yang memiliki versi berbeda diterbitkan pada 1847. Jadi, karya tersebut jauh lebih tua daripada yang disebut Fachry. Sebagai catatan tambahan, Serat Suryaraja adalah karya kedua Hamengku Buwono II. Karya ini didahului dengan Babad Mangkubumi, dan diperkirakan baru selesai ditulis 1792. Dengan fakta ini, HB II menempatkan diri sebagai salah seorang raja Jawa yang meninggalkan karya tertulisnya. Makna historis kedua karya HB II tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal. Pertama, keduanya termasuk manuskrip paling tua yang tertinggal di Keraton Yogyakarta. Sebagian besar manuskrip penting lainnya dijarah oleh pasukan Inggris ketika mereka menduduki Keraton pada 1812, dan sebagian besar manuskrip ini tenggelam bersama kapal The Fame yang dinaiki Thomas Stamford Raffles di perairan Bengkulu pada 1824. Kedua, karya-karya ini menandai genre baru penulisan Jawa, dengan nama penulis jelas-jelas disebutkan. Sebelumnya, hanya ada dua karya klasik Jawa yang menyebutkan nama penulisnya, yaitu Negara Kertagama dan Kakawin Arjunawiwaha. Sayangnya, Fachry tidak menyebut siapa nama penulis Serat Suryaraja. Ketiga, karya-karya tersebut sesungguhnya dapat dipakai sebagai rujukan pembanding bagi catatan Belanda. Khususnya, karena Serat Suryaraja secara samar menunjukkan, sampai seberapa jauh penetrasi Belanda terhadap Keraton Yogyakarta pada saat itu. Dari beberapa kajian sepintas terhadap, isi serat ini masuknya kekuasaan Belanda ke dalam Keraton Yogya ternyata tidak sedalam seperti yang dikesankan berbagai catatan dan dokumen Belanda. Dengan fakta-fakta ini, tulisan Fachry justru memberikan kesan lebih rendah daripada yang seharusnya pantas disandang Serat Suryaraja. Karya ini memang ditulis oleh raja yang kontroversial, karena sikapnya yang sangat anti-Belanda. Karya ini juga selalu mengundang tanda tanya para sejarawan, karena merupakan satu-satunya naskah buku yang dijadikan pusaka Keraton. Untuk membaca karya asli, harus dilakukan upacara tertentu. Sebagaimana diakui oleh Ricklefs sendiri, ia tidak berkesempatan banyak untuk membaca isinya. Ulasan lebih dalam hanya dapat dilakukannya terhadap versi kopi, yang menurut dia agak berbeda dibanding versi asli. Saya sendiri pernah membaca mikrofilm Serat Suryaraja, sekalipun tak paham isinya karena bahasa Jawa sudah berubah begitu banyak dalam dua ratus tahun terakhir ini. Bagaimanapun, tanpa disadari, tulisan Fachry mengusik aspek-aspek lain yang jauh lebih penting dari isi kolom itu sendiri. Mudah-mudahan, ada kerja sama lebih lanjut antara filolog dan sejarawan, atau Javanolog, untuk mengungkap lebih banyak rahasia di balik Serat Suryaraja. Saya sendiri agak meragukan kesimpulan Ricklefs, karena tidak ada karya pembanding dari sejarawan lain -- kecuali P.B.R. Carey yang isinya lebih terasa bersudut pandang "Barat" dibanding karya Ricklefs. Sebagai informasi terakhir, kajian atas buku ini bisa ditelusuri lewat karya P.B.R. Carey, The Archive of Yogyakarta. Oriental Documents III, Vol. I "Documents Relating to Politics and Internal Court Affairs" (British Academy oleh Oxford University Press 1980), Carey, Babad Dipanagara. An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830). (Kuala Lumpur: MBRAS, Monograph No. 9, 1981) M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792. A History of the Division of Java (London: Oxford University Press, 1974 dan Ricklefs, Modern Javanese Historical Tradition (London: School of Oriental and African Studies, University of London, 1978). HERMAWAN SULISTYO PPW-LIPI Jalan Gatot Subroto 10 Lt: 11 Jakarta Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus