Tabir gelap tragedi Trisakti dan Semanggi kini mulai dibuka kembali. Panitia Khusus DPR yang dibentuk untuk menguak sisi gelap sejarah dua-tiga tahun silam itu mulai bekerja. Pekan lalu, mereka mulai memanggil beberapa petinggi militer dan sipil yang saat itu dianggap terlibat dan terkait.
Berkaitan dengan Kasus Trisakti pada 12 Mei 1998, yang menewaskan empat mahasiswa, dipanggil Mayjen Sjafrie Sjamsoedin (kala itu Pangdam Jaya), Irjen Hamami Nata (mantan Kapolda Metro Jaya), dan Kolonel Hendardji (bekas Komandan POM Kodam Jaya).
Esok harinya, giliran Letjen Djadja Suparman (mantan Pangdam Jaya) dan Irjen Noegroho Djayoesman (mantan Kapolda Metro Jaya) dipanggil untuk menjelaskan kasus penembakan terhadap para demonstran di dekat Jembatan Semanggi sekitar Sidang Istimewa MPR 1998.
Satu persamaan yang sedang digali Pansus yang dibentuk pertengahan November lalu dari semua tragedi nasional itu adalah siapa pelaku maupun pemberi perintah penembakan. Selain itu, diharapkan bahwa kendala politis yang dihadapi oleh para penegak hukum dalam mengusut kasus tersebut terungkap. Termasuk, kemungkinan adanya sebuah konspirasi politik di balik peristiwa itu.
Pengusutan tragedi itu sebenarnya sudah dan sedang dilakukan oleh aparat berwenang. Kasus Trisakti, misalnya. Beberapa anggota Brimob sudah diseret ke pengadilan dan sudah dijatuhi hukuman penjara. Sedangkan 10 anggota Brimob lainnya?sebenarnya ada sebelas tapi satu tewas saat bertugas di Ambon?sudah diajukan ke oditur militer, menunggu diproses. "Rombongan" terakhir itu adalah tersangka pelaku penembakan.
Hasil ini dianggap belum maksimal karena tidak mengungkap siapa pemberi perintah. Mereka yang diadili hanya bawahan?paling tinggi letnan. Tidak hanya itu. Pasukan liar yang kala itu disebut-sebut ada dan dianggap sebagai pelakunya juga tidak terungkap. Tentang hal ini, salah satu indikasinya adalah adanya pasukan yang menggunakan peluru tajam yang akhirnya menewaskan mahasiswa. Padahal, menurut Sjafrie dan Hamami Nata kepada Pansus DPR, waktu itu semua pasukan yang terlibat dilarang menggunakan peluru tajam dan dibekali peluru karet. Namun, Ketua Pansus, Panda Nababan, menganggap aneh argumentasi mantan penanggung jawab keamanan Jakarta itu. "Lo, kenapa mereka tidak menyelidiki dengan serius munculnya peluru tajam itu, dari mana asalnya?" katanya.
Keanehan lain adalah tidak selarasnya kerja polisi dan penyidik Pomdan. Dua institusi ini sempat berbeda pendapat tentang jenis senjata sang pembunuh. Menurut tim penyidik Pom, yang dibantu oleh tim dari Universitas Trisakti, senjata yang digunakan berjenis SS-1 dan Steyr AUG. Kesimpulan itu berdasarkan hasil uji balistik proyektil peluru di laboratorium Belfast, Irlandia Utara, yang memang dikenal sangat akurat. Proyektil peluru itu sendiri diambil dari tubuh korban yang tewas tertembak di halaman kampus Trisakti. Jenis senjata itu biasa digunakan oleh pasukan Gegana Polri dan Kopassus. Sedangkan hasil penelitian Puslabfor Polri, berdasarkan barang bukti yang sama, menyimpulkan bahwa jenis senjata yang dipakai adalah SS-1 dan M16 A2. "Sepanjang pengetahuan saya, TNI tidak menggunakan M16 A2," kata Sjafrie kepada anggota Pansus.
Uji balistik yang berbeda waktu itu memunculkan kecurigaan, polisi menyembunyikan sesuatu. Jika yang menjadi acuan adalah hasil uji balistik Belfast, "saya yakin penembaknya dari aparat kepolisian," kata Heru Sanusi, Sekretaris Tim Pencari Fakta Tragedi Trisakti. Apalagi, kata Sanusi, waktu itu ada ribuan mata melihat bahwa penembak berseragam Brimob.
Benarkah pelakunya dari kesatuan Brimob? Belum tentu. Sebab, bukan tidak mungkin, pasukan khusus dari kesatuan TNI berseragam Brimob yang melakukan hal itu. Bukan rahasia lagi, hal seperti itu biasa dilakukan di masa lalu. Selain itu, jenis senjata itu juga bukan monopoli polisi.
Soal siapa pengguna senjata hanya salah satu sisi gelap?dari seribu sisi gelap?tragedi yang merupakan lembaran hitam sejarah bangsa ini. Dan salah satu tugas Pansus adalah membongkar tabir itu. Mampukah?
Johan Budi S.P., Ardi Bramantyo, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini