Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jaringan Intel di Balik Bom Natal

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di era terbuka seperti sekarang ini, membuat bom bukanlah perkara sulit. Resep membuat perangkat ledak mudah didapat di berbagai situs internet. Bahan kimia untuk meracik mesiu, seperti pupuk, juga tersedia di berbagai toko, yang tentu saja menjualnya untuk keperluan yang lebih damai. Tapi, untuk membuatnya dalam jumlah besar, menempatkannya di lebih dari 38 gereja di enam provinsi, dan meledakkannya dalam waktu hampir bersamaan jelas bukan soal mudah. Itu sebabnya, ketika bom berledakan di berbagai pelosok Tanah Air di malam kudus silam, tak terlalu banyak pihak yang dianggap mampu melakukannya. Tindakan bengis itu tak hanya membutuhkan dana yang besar, tetapi juga kemampuan organisasi yang berdisiplin tinggi dan mempunyai akses terhadap informasi yang biasanya sulit bagi orang ramai. Di luar organisasi militer, dalam arti yang luas, boleh dikata tak ada yang mampu melakukannya. Militer dalam arti luas, itulah kata kuncinya. Sebab, dalam organisasi kumpulan orang bersenjata ini pun, hanya unit-unit tertentu yang memiliki kepiawaian di bidang bahan peledak. Kalau keahlian itu ditambah lagi dengan kemampuan mengorganisasikan keonaran dan akses kepada peta kelompok radikal, hanya sebagian anggota masyarakat intelijen militer yang menguasainya. Kepiawaian yang tidak lantas terhapus, kendati mereka telah melalui usia purnawira. Alasan seperti inilah yang menyebabkan titik fokus penyelidikan tragedi akhir tahun itu sepatutnya diarahkan pada komunitas intelijen militer, baik yang masih aktif maupun telah pensiun. Upaya yang jauh dari mudah karena?jika benar ada yang terlibat?mereka umumnya telah dilatih dan disekolahkan untuk menghilangkan jejak, bahkan menyuguhkan jejak palsu. Karena itu, jangan heran jika penyidikan polisi seperti menemui jalan buntu. Apalagi, aparat berseragam cokelat ini memang tak dilatih untuk memberkas perkara sabotase. Selama Orde Baru, kemampuan polisi untuk menangani masalah keamanan di luar bidang kriminal memang sengaja dimandulkan. Kewenangan itu diambil alih oleh jaringan intelijen militer dalam berbagai bentuk seperti Kopkamtib, Laksusda, Bais, dan sebagainya. Kini, dalam era reformasi, kewenangan dikembalikan kepada polisi, yang tidak terlatih untuk menanganinya. Memang, beberapa negara maju, terutama Amerika Serikat, telah giat menawarkan berbagai kursus untuk meningkatkan kemampuan di bidang antiteror kepada instansi yang baru disapih dari militer itu. Tapi, tanpa mempunyai akses penuh pada peta kelompok radikal yang telah puluhan tahun disimpan jaringan intelijen militer, peningkatan kemampuan teknis itu tak banyak artinya untuk mengungkap sebuah operasi intelijen ilegal. Walhasil, pemerintah, terutama polisi, memang tak punya banyak pilihan jika ingin berhasil membawa para pelaku teror terorganisasi ke meja pengadilan. Pilihan yang paling masuk akal adalah mencoba mengajak anggota jaringan intelijen militer yang masih punya nurani untuk bersama-sama melakukannya. Seperti organisasi mana pun di dunia, sebuah jaringan selalu mempunyai keragaman dan sulit untuk tetap homogen. Boleh dikata, nyaris semua anggota intelijen militer mengawali masa dinasnya dengan niat untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Namun, sayangnya, banyak di antara mereka tak mampu bertahan suci di lingkungan pekerjaan sehari-hari, yang penuh godaan di tempat yang remang-remang. Maklum, semakin otoriter sebuah kekuasaan, semakin besar wewenang yang dimiliki jaringan intelijennya. Wewenang yang biasanya tak dijaga oleh supervisi yang memadai, yang lantas membuatnya sangat rawan peluang korup. Tapi, serawan apa pun lingkungan sebuah organisasi, selalu ada kekecualian. Institusi aparat hukum Chicago, yang sangat korup, pun masih melahirkan seorang Elliot Ness dan kelompok the untouchable-nya. Militer Prancis, yang pernah sangat tercemar, masih mampu mencuatkan seorang Charles de Gaul, yang membenahi intelijen negaranya hingga memenuhi standar sebagai institusi di sebuah negara demokrasi. Bahkan industri layar perak Hollywood pun telah memproduksi banyak film tentang peristiwa seperti ini. Serpico adalah salah satu di antaranya. Harus diakui bahwa jalan yang ditempuh Elliot Ness, De Gaul, ataupun Serpico tidaklah mudah. Mereka tak hanya berhadapan dengan kelompok bajingan di jalanan, tetapi juga bidikan senjata dari musuh di dalam organisasinya sendiri. Tapi keuletan mereka yang mendapatkan dukungan orang ramai?dan tentu saja juga berkat Tuhan?ternyata mampu juga membuat kisah mereka berakhir dengan happy ending. Indonesia memang berbeda dengan Amerika Serikat ataupun Prancis. Juga tak ada jaminan bahwa tokoh seperti Ness, De Gaul, ataupun Serpico akan muncul di republik ini. Namun, tak ada salahnya menengok ke seluruh penjuru dunia dan memetik pengalaman mereka sebelum kita putus asa karena berbagai kegiatan teror di Tanah Air seperti tak pernah terungkap. Tengoklah seluruh negeri, yang dahulu berada di bawah rezim otoriter dengan dukungan intelijen militer. Nyaris semuanya kini menjadi lebih demokratis dengan masyarakat yang lebih berdaya, kendati sempat mengalami masa transisi dengan berbagai teror. Bahkan, sepertinya, semakin terbuka sebuah masyarakat, ternyata semakin kerdil cengkeraman kelompok yang mencoba berkuasa melalui bedil dan aksi teror. Maka, tugas kita hanyalah tinggal menjaga agar Indonesia tak menjadi sebuah kekecualian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus